Minggu, 27 Mei 2012

Menggapai Puncak Ciremai

Berawal dari chat teman yang tiba-tiba mengajak naik gunung tapi tidak tahu dia ingin naik gunung dan aku memberi pilihan Gunung Ciremai / Gunung Gede, karena dua gunung itu yang terdekat dengan jakarta. Dia memilih untuk pergi ke Gunung Ciremai alasannnya Gunung Gede udah pernah kita daki.

Setelah mencari tambahan teman mendaki kesana-kemari akhirnya mendapat dua personil lagi yang ikut perjalanan Menggapai Puncak Ciremai. Meskipun dari keempat orang dari rombongan kami belum pernah ada yang naik Gunung Ciremai, kami tetap nekat untuk berangkat.

Kami harus mengurus izin dulu sebelum mendaki. Kami harus mendapatkan Simaksi (surat ijin masuk lokasi). Syaratnya mudah, fotokopi tanda pengenal, mengisi formulir, dan cukup membayar Rp. 10.000 kepada petugas di Pos PPGC (Pengelola Pendakian Gunung Ciremai), di desa Linggarsana dekat dengan desa Linggarjati. Itu loh, tempat berlangsungnya perundingan Linggarjati antara Belanda dan Indonesia pada tahun 1946.

Gunung Ciremai termasuk gunung api kuarter aktif tipe A (gunung api magmatik yang masih aktif sejak tahun 1600), masuk dalam zona sesar Cilacap-Kuningan dari kelompok gunung api Jawa Barat bagian timur. Sejak 2004, status Gunung Ciremai telah ditetapkan menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Taman nasional ini memiliki luas 15.500 Ha.

Gunung tertinggi di Jawa Barat ini merupakan gunung api generasi ketiga. Generasi pertama adalah suatu gunung api Pleistosin yang terletak di sebelah Gunung Ciremai, sebagai lanjutan vulkanisma Pleistosin di atas batuan tersier. Vulkanisma generasi kedua ialah vulkanisma Gunung Gegerhalang, yang sebelum runtuh membentuk kaldera Gegerhalang. Vulkanisma generasi ketiga yaitu pada kala Holosen berupa Gunung Ciremai yang tumbuh di sisi utara kaldera Gegerhalang, yang diperkirakan terjadi pada sekitar 7000 tahun yang lalu. Puncaknya mempunyai dua kawah (barat dan timur) dengan radius 600 meter dan kedalaman 250 meter. Gunung Ciremai tercatat meletus pertama kali pada tahun 1698 dan terakhir kali pada tahun 1937.

Pos I, mata air Cibunar (750 mdpl) dicapai siang hari saat rasa haus semakin terasa. Hanya di pos inilah terdapat sumber air, jadi kita mengambil air banyak-banyak, jika enggak mau kehabisan air di tengah perjalanan. Begitulah wanti-wanti dari petugas PPGC. Di sini juga terdapat gubuk tempat beristirahat. Setelah mengisi air dan istirahat sejenak perjalanan dilanjutkan menuju pos selanjutnya.

Masih ada sepuluh pos lagi sebelum sampai ke puncak Ciremai. Pos-pos tersebut adalah Leuweung Datar(1.200 mdpl), Condang Amis (1.300 mdpl), Kuburan Kuda (1.380 mdpl), Pangalap (1.600 mdpl), Tanjakan Seruni (1.750 mdpl), Tanjakan Bapatere (1.950 mdpl), Batu Lingga (2.250 mdpl), Sangga Buana I (2.350 mdpl), Sangga Buana II (2.500 mdpl), dan Pangasinan (2.750 mdpl)

Perjalanan dilanjutkan menuju pos Kuburan Kuda. Kami sungguh penasaran dengan pos ini, angker kelihatannya. Kami menduga di situ ada kuburan keramat. Ah, ternyata kami keliru. Namun pos ini cocok untuk mendirikan tenda, tanahnya datar, cukup luas, dan teduh.

Hari bergulir menjadi gelap. Tapi kami tetap meneruskan pendakian. Hanya diterangi cahaya senter kecil, kami melalui jalur-jalur pendakian yang semakin menanjak dan terjal. Sangat melelahkan dan menguras tenaga. Buat aku ini adalah pendakian terberat selama naik gunung.


Dari Pos-pos tersebut yang paling berat kami lalui adalah Tanjakan Bapatere (1.950 mdpl). Tanjakan ini sangat terjal dan curam. Jalurnya menanjak dan terputus. Kemiringannya bisa mencapai 70 derajat, sehingga tangan dan kaki kami harus bekerja sekaligus. Hal ini juga diamini oleh rekan pendaki lain saat bertemu di puncak.

Di pos Batu Lingga (2.250 mdpl) kami mendirikan tenda. Seraya beristirahat kami memasak nasi, mi goreng, dan kopi. Dinamakan Batu Lingga karena dulu terdapat batu besar tempat Sunan Gunung Jati berkhalwat. Alkisah, dahulu Wali Songo mendaki gunung Ciremai, dan karena Sunan Gunung Jati sudah kelelahan, dan tidak sanggup lagi melanjutkan perjalanan, maka ia beristirahat di sini, sedangkan wali-wali yang lain melanjutkan pendakian ke puncak. Kini batu tersebut sudah tidak ada. Konon, menurut penduduk setempat batu itu lenyap secara misterius.


Ada pengalaman menarik saat kami bermalam di pos Batu Lingga ini. Pagi-pagi saat membongkar tenda, kami menemukan sebuah nisan tanpa jasad di belakang tenda. “Wah, ternyata semalam kita tidur di atas kuburan tanpa jasad,” kata seorang teman. Di batu nisan yang basah karena embun itu tertulis nama seorang wanita, tetapi aku lupa siapa namanya. Kami berasumsi perempuan malang itu meninggal saat pendakian. Gunung memang tak bisa dianggap enteng.

Setelah beres-beres tenda, di hari kedua, kami melanjutkan pendakian ke puncak. Berharap masih bisa berjumpa dengan sunrise. Dari pos Batu Lingga kami menuju pos Sangga Buana 1, Sangga Buana 2, dan Pangasinan. Jalur pendakian yang kami lalui sudah lebih bersahabat. Sayang, kami tidak sempat melihat sunrise, karena ketika sampai di pos Pangasinan matahari sudah tinggi. Di pos ini kami sarapan.

Perjalanan menuju puncak lebih terjal. Sehingga kita harus hati-hati karena medannyaberupa batu-batuan vulkanik, kerikil, dan pasir yang mudah longsor. Apalagi saat musim hujan karena merupakan jalur air. Vegetasi yang dominan seperti Edelweis dan Cantigi. Ada juga tanaman semak, sejenis murbei yang buahnya berwarna orange dan dapat dimakan dan pohon seperti petai tapi habitusnya kecil. Di cabang dan ranting pohon ini tumbuh seperti tumor berwarna coklat, bentuknya tidak beraturan, kecil sampai sebesar kepalan tangan. Di rantingnya burung-burung tak dikenal berkicau menyambut kami.

Pukul 09:30 WIB kami sampai di Puncak Panglongokan (3.027 mdpl). Kabut tebal terkadang menutupi pandangan dari puncak. Namun kawah kembar di bawah masih bisa kita lihat samar-samar. Sungguh megah kelihatannya. Tidak lupa kami mengabadikan momen-momen di puncak tertinggi Jawa Barat ini. Sedikit narsis. Tapi dalam hati kami mengakui keagungan Ilahi.

Puas menggapai atap tertinggi di Jawa Barat, lalu kami berjalan ke kiri dari jalur Linggarjati, mengelilingi setengah punggungan kawah. Dan turun melalui jalur yang berbeda, jalur Palutungan.






Edited from http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2012/02/22/menggapai-puncak-ciremai/   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar