Perjalanan ke Sawarna kali ini tanpa direncanakan dari jauh hari.
Menjelang libur akhir pekan yg panjang Februari lalu, secara tak sengaja
saya menemukan Sawarna dari google. Karena belum ada rencana untuk
menghabiskan waktu libur, maka saya dan beberapa kawan memutuskan untuk
mencoba ngeluyur kesana. Dan begitulah, pada suatu Jumat lepas subuh,
berangkatlah kami dari titik awal, Mampang.
Menggunakan taksi (angkot masih jarang banget pagi-pagi), kami menuju
Stasiun Tanah Abang. Tiba di sana, masih terlalu pagi, kami langsung
menuju loket, beli karcis kereta ekonomi tujuan Rangkas Bitung, seharga
4000 rupiah. Lalu kami putar-putar sekitar stasiun, cari sarapan.
Sekitar jam 7 pagi, akhirnya kereta kami tiba. Tanpa keheranan sama
sekali, keretanya super penuh. Sesak manusia, barang, binatang *errrr*
dan COPET. Ya benar, ini kereta paling tidak manusiawi yg pernah saya
naiki. Mungkin jumlah copetnya sebanding dengan jumlah penumpangnya.
Di suatu stasiun, kereta berhenti. Naiklah serombongan keluarga yg
terdiri dari bapak, ibu dan anak. Mereka berdiri persis di depan saya.
Beberapa saat setelah kereta jalan lagi, si anak mengadu bahwa ponselnya
tercopet. Si bapak memarahi anak yg dianggap tidak hati-hati, sambil
meraba kantongnya. Dan ternyata ponsel si bapak juga hilang. Maka
“berkicau” lah si ibu kepada mereka berdua, sebelum disadarinya bahwa
dompet yg ada di dalam tasnya juga raib. Nah, terjadilah drama. Si ibu
histeris menjerit-jerit, memaki copet yg dianggapnya keterlaluan,
mengambil semua barang mereka sekeluarga. Well, saya speechless.
Di samping saya, berdiri seorang mbak-mbak yg jadi memeriksa tasnya
setelah si ibu histeris. Lalu dengan “tenang” si mbak berujar “Dompet
saya juga hilang.”. Saya bengong melihat perbedaan reaksinya. Yah,
mungkin si mbak ini sudah sangat maklum dengan kondisi kereta, dan juga
segala resikonya.
Tiba di Rangkas Bitung tanpa kekurangan suatu apa, kecuali kaki yg mati
rasa, sudah menjelang jam 11. Lalu kami lanjut dengan angkot seharga
2000 rupiah menuju terminal Mandala. Dari Mandala, kami naik angkutan
Elf menuju Bayah. Nah, di sinilah ujian sebenarnya. Perjalanan tiga jam
dengan trayek yg mengocok perut. Insya Allah dijamin sampai Bayah, diri
Anda sudah terkocok sempurna, siap dipanggang dalam oven (berasa adonan
kue). Tarif Elf dari Mandala sampai Bayah 25000 rupiah.
Bayah adalah titik angkutan umum terakhir sebelum Sawarna. Setelah itu,
pilihannya adalah ojek, atau kalau rombongan, carter saja Elf-nya sampai
Sawarna, seperti kami kemarin. Tarif dari bayah ke Sawarna berkisar
10000 – 15000 rupiah.
Sawarna adalah desa wisata, yg artinya, di sana tidak ada hotel atau
losmen besar. Tapi kita bisa menginap di rumah-rumah penduduk yg memang
disewakan. Tarif penginapan di Sawarna berkisar antara 60000-90000
rupiah, biasanya sudah termasuk makan 3x sehari.
Jam tiga sore, kami tiba di rumah Ibu Nenden, tempat dimana kami akan
menginap. Langsung dijamu dengan makan siang yang, ehm, bikin pengen
nambah. Rumah bu Nenden ini lokasinya cukup strategis, hanya beberapa
ratus meter dari bibir pantai Ciantir. Jadi kalau malam, tidur diiringi
alunan debur ombak. Tsaaaah, romantis deh ;p
Sore itu, kami langsung menuju pantai, bermain ombak sejenak, sambil
rencananya menunggu matahari terbenam. Tapi apa mau dikata, beberapa
menit sebelum matahari turun tahta, mendung gelap menggelayuti langit,
hujan rintik turun. Kami pun berlarian kembali ke rumah.
Jika malam tiba di Sawarna, tak banyak aktifitas yg dapat dilakukan,
maka saran saya, bawalah permainan alakadarnya. Seperti kami malam itu,
mabuk bermain kartu hingga larut.
Pagi menyapa pelan, sisa hujan semalam masih terasa, dingin. Setelah
bergantian mandi, kami disuguhi sarapan, dengan menu yg tak jauh dari
olahan ikan. Sembari menunggu rombongan teman yg rencananya menyusul,
kami main kartu, lagi.
Sekitar jam 11, setelah yg ditunggu datang, kami menuju ke Goa Lalay.
Diantarkan seorang guide, kami menyusuri goa bersungai dan berlumpur
dalam kegelapan. Hanya ditemani senter berkelipan. Pengalaman seru
berkubang lumpur, dan menahan diri untuk tidak jatuh dibayar seharga
50000 rupiah. Lewat tengah hari kami keluar dari goa, kembali ke
penginapan, dan langsung disuguhi makan siang, nyammm.
Jelang sore hari, kami beringsut lagi ke pantai. Kali ini serius, main
air, main istana pasir, mengubur orang hidup-hidup, main bola dan tak
lupa foto-foto, hehe. Saat matahari mulai semakin turun, kami menyusuri
tepian pantai, menuju Tanjung Layar. Konon, di Tanjung Layar,
pemandangan matahari terbenamnya sangat indah. Dan Tanjung Layar juga
merupakan titik yg menjadi tujuan para peselancar. Well, sialnya adalah,
sampai di sana, kami tak bisa lagi foto-foto, baterai kamera habis.
Malam kedua, kami bertemankan hujan lagi, dan tentu saja, main kartu
lagi.
Minggu pagi cerah, kami bersiap kembali ke Jakarta. Setelah sarapan, jam
10 kami berpamitan. Dengan menumpang ojek, kami kembali ke Bayah, lalu
lanjut dengan Elf ke Rangkas Bitung. Tiba di terminal matahari sudah
sangat terik. Kami makan siang sebelum melanjutkan perjalanan.
Lewat diskusi, kami memutuskan untuk tidak menggunakan kereta, tapi
bus antar kota antar propinsi. Berharap kondisinya lebih kondusif dan
tentu saja, tidak banyak copetnya. Well, untuk yang terakhir memang
benar, busnya bebas copet, namun sekali lagi, kami dikocok di jalanan.
Phewwww.
Malam merambat turun, kami tiba di terminal Kalideres. Perjalanan
berikutnya kami lanjutkan dengan bus Transjakarta. Touch down rumah jam 9
malam. Badan rasanya luar biasa, capek tapi puas. And so, that’s all.
Petualangan ke surga tersembunyi, Sawarna, Banten.
SUMBER : NAISHAKID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar