Minggu, 27 Mei 2012

Pulau Sempu



Perjalanan kami mulai dari tengah Ibu Kota, Stasiun Pasar Senen. Apalagi kalau bukan menumpang KA Ekonomi Matarmaja yang menempuh perjalanan kurang lebih 17 jam lamanya untuk menuju Malang. Bisa dibayangkan betapa lusuhnya wajah kami setelah sampai Stasiun Kota Baru Malang esok paginya. Inilah sensasi pertama kami dalam ber-backpacker-ria ke Malang. Untuk perjalanan sejauh itu kami hanya merogoh kocek sebesar Rp 51.000, itu hanya untuk tiket keretanya saja, dari rumah ke Stasiun Ps. Senen, silahkan hitung sendiri biayanya.
Setibanya di Malang, kami bergegas membersihkan badan dan berganti pakaian untuk melanjutkan perjalanan ke objek wisata kami yang pertama, Pulau Sempu.  Dari pusat kota Malang ke Pulau Sempu, kami harus melintasi daerah perbukitan, menyusuri hutan, berulang kali merasakan telinga yang pengang akibat tekanan udara yang tiba-tiba berubah. Nyaris 3 jam kami berdelapan terpaksa berhimpit-himpitan di dalam sebuah Avanza yang sengaja kami sewa selama pelesiran di Malang. 
Untuk dapat memasuki Pulau Sempu, kami harus transit terlebih dahulu di Pantai Sendang Biru untuk mengurus proses administrasi dan melakukan persiapan. Nama memang mencerminkan keadaan sesungguhnya, Pantai Sendang Biru benar-benar memiliki hamparan laut biru yang sungguh eksotis dan tiada duanya. Sungguh mengagumkan. Sebenarnya, dari delapan anggota tim yang berangkat, tujuh diantaranya termasuk saya, sama sekali buta tentang keadaan Pulau Sempu. Hanya Mas Erryco yang tahu karena sebelumnya beliau sudah pernah mondar-mandir keluar masuk ke area ini.
Kami menggunakan perahu sewaan yang ada di dermaga Sendang Biru untuk mencapai Pulau Sempu, sekitar sepuluh menit dengan biaya Rp 100.000 per perahu maksimal 15 orang untuk perjalanan pulang pergi dari dan menuju Pulau Sempu. Biaya tersebut sudah termasuk guide lokal dan di luar biaya tambahan yang akan dikenakan jika kami melebihi batas waktu sewa perahu.
Kesan pertama ketika memasuki kawasan Pulau Sempu adalah sungguh tempat ini luar biasa indah dan masih sangat asri. Setelah lima belas menit pertama melakukan perjalanan berlumpur dan berbatu sebagai jalur tracking yang kami tempuh, kesan itu, terutama untuk saya pribadi berubah menjadi “sumpah, gw gak mau lagi kesini, gilak, cape setengah mati ini, berapa lama lagi sih”. Mungkin beberapa kawan yang baru pertama kali pergi kesana akan atau pernah merasakan kesan tersebut. Ya, memang seperti itu keadaannya. Jalur tracking yang berat untuk orang seawam saya, berlumpur, licin, berbatu, batang pohong yang tumbang, dan akar dan sulur dimana-mana yang justru memudahkan kami mencari pegangan agar tidak jatuh terpeleset.
Rasanya, sepatu anti slip yang saya sewa sebelumnya di Sendang Biru untuk memudahkan perjalanan sudah tidak ada gunanya lagi. Karena pijakan kaki saya sering terbenam lumpur, jadilah sepatu itu berselimut lumpur tebal dan membuat saya kesulitan untuk berjalan. Dan akhirnya ditengah jalan saya putuskan untuk melepas dan menentengnya. Keadaan tidak berubah, saya malah lebih sering jatuh terpeleset lumpur. Jatuh terduduk berulang kali. Keringat bercucuran tak karuan, kaki dan tangan sudah gemetar rasanya kelelahan.
Saat itulah, ketika kami mulai putus asa. Sudah sangat, sangat, sangat merasakan keletihan dan menahan luka perih akibat lecet di telapak tangan dan kaki. Sudah payah mendaki dan turun bukit-bukit kecil. Sudah sangat ingin melompat dari tepi tebing. Saat itulah Segara Anakan berhasil kami lihat pesona kecantikannya. Sungguh kepuasaan yang mampu membayar dengan lunas semua jerih payah kami selama 2 jam menulusuri hutan lindung Pulau Sempu. Inilah mutiara Pulau Sempu yang kami incar sedari tadi.
Sayangnya, kami tidak bisa berlama-lama menikmati keindahan Segara Anakan. Kami tiba di Segara Anakan waktu itu sudah pukul 3 sore, artinya kami hanya punya waktu 1 jam untuk berleha-leha dan berfoto-foto ria di dalam surga dunia yang satu ini jika kami tidak mau keluar dari Pulau Sempu saat hari sudah gelap. Segara anakan sebenarnya adalah sebuah danau air asin yang berada di Pulau Sempu yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia dan untuk mencapainya hanya dapat ditempuh dengan perjalanan menerobos lebatnya hutan lindung Pulau Sempu.
Pengalaman melintasi track menuju Segara Anakan tidak lantas membuat kami merasa jauh lebih mudah melintasi jalur tracking saat perjalanan pulang. Sama saja. Berulang kali terpeleset, terbenam lumpur, kehausan karena perbekalan air minum yang sedikit, dan parahnya lagi, ternyata sudah terlalu sore bagi kami melakukan perjalanan pulang. Padahal kami meninggalkan Segara Anakan tepat jam 4 sore, sesuai rencana. Hari sudah gelap ketika kami berada dalam radius 15 menit dari pesisir Pulau Sempu. Dalam keadaan itu, sudah sulit sekali bagi kami untuk tetap berjalan dan tidak panik mengingat kondisi yang sudah sangat gelap dan kurang pencahayaan, belum lagi hewan-hewan nokturnal lokal yang sudah mulai menunjukkan aktivitasnya semakin menambah kecemasan kami.
Syukurlah, kami akhirnya sampai di pesisir Pulau Sempu dengan keadaan selamat dan semua anggota tim lengkap. Langit sudah benar-benar gelap saat itu. Kapal sewaan kembali membawa kami ke Pantai Sendang Biru. Kali ini pesona keindahaan lautan milik Sendang Biru sudah tak dapat kami nikmati, tetapi pemandangan yang tak kalah menakjubkan telah menyambut kami di hamparan langit di atas sana. Taburan bintang gemintang memanjakan mata kami. Sungguh sempurna sudah secuil bagian dari surga dunia yang kami nikmati hari ini.
Inilah kami, delapan muda mudi yang menyempatkan diri melancong ke tanah Jawa, Malang, berpelesir menikmati keindahan alam karya agung Sang Maha Indah.


Sumber http://penulis165.esq-news.com/2012/artikel/05/22/malang-pulau-sempu.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar