Minggu, 27 Mei 2012

Galunggung, Bertabur Bintang, di Penghujung Tahun

Siapa yang tak tahu Tasikmalaya. Kabupaten di provinsi Jawa Barat yang punya segudang pesona. Daerah penghasil kerajinan tangan nya yang berkwalita tingkat tinggi, makananya, yang memanjakan indra perasa kita, dan tentu saja, potensi wisatanya yang tidak kalah menawan. Pantai Cipatujah dan Kawah Gunung Galunggung, dua diantaranya. Selain, ada banyak tempat lagi yang tentu saja, bisa menjadi tujuan wisata kita.
Kali ini, Galunggung, menjadi tujuan saya untuk menghabiskan malam pergantian tahun. Galunggung dipilih, karena lokasinya yang tidak terlalu jauh dari Jakarta, dan bisa ditempuh dengan perjalanan darat yang cukup mudah. Serta, tentu saja dengan ongkos yang masih masuk akal, dikala liburan. Berikut catatan perjalanan kami.
Pagi Hari di Tasikmalaya
Adzan subuh sudah lama lewat, bahkan ketika kami masuk dikota ini. Namun, gambaran religius nya kota berpagar gunung-gunung hijau ini masih terasa. Bahkan, sebuah masjid besar, berdiri kokoh di kawasan terminal Tasik yang megah. Jauh dari kesan terminal yang kotor dan muram. Majid ini, terletak di pintu masuk kendaraan. Dari jalan raya sekalipun, kita bisa melihat betapa megahnya tempat ini. Ini baru satu, anda tahu, Itje Trisnawati dan Evie Tamala? Dua pesohor dangdut negeri ini, konon membangun masjid yang dinamai dengan nama mereka masing-masing. Begitu kuatnya tingkat ke islaman penduduk di Tasik, setidaknya, ini bisa jadi gambaran yang mungkin saja benar.
Terguncang dalam bus ekonomi bertarif eksekutif selama lebih dari lima jam, kami akhirnya menginjakkan kaki di tanah sunda Tasikmalaya. Udara sejuk menyeruak. Beberapa tukang ojek menawarkan tumpangan, dan beberapa yang lain menawarkan jasa angkutan. Hasilnya, kami sepakat menyewa sebuah angkot untuk menuju ke kawasan wisata Galunggung. Namun, kami tidak buru-buru naik, warung bubur ayam di seberang terminal Indihiyang – Kota Tasikmalaya, nampaknya lebih menarik untuk disambangi lebih dulu. Jadilah, godaan bubur ayam dan udara dingin, serta kantuk yang masih menempel dipelupuk mata, menjadi kombinasi yang kami lewati pagi ini.
Puas mengisi perut, kami bergegas menuju tempat tujuan kami dengan angkot sewaan. Kota ini tidak terlalu penuh ramai. Namun, geliat pagi sudah nampak dari sejak matahari terbit. Udara semakin dingin, ketika kami tiba di pelataran parkir Pemandian Air Panas Cipanas. Dalam bahasa Indonesia, Cipanas berarti Air Panas. Ci berarti Air, dan Panas, berarti panas. Pemandian ini, berada dalam satu kawasan dengan Wisata Alam Galunggung yang akan kami datangi. Masih tidak terlalu ramai, namun, sudah mulai menampakkan aktifitasnya.
Pemandian Cipanas, Awal “Soft Trekking” Galunggung
Jangan bayangkan mandi air panas seperti di hotel kelas atas. Ini adalah kawasan pemandian air panas umum. Anda hanya harus membayar tiket masuk, yang sekaligus tiket untuk ke Kawah Galunggung, jika mau.
Ada beberapa kolam berbentuk kolam renang, dengan tingkat kehangatan yang berbeda. Menurut informasi yang saya dapatkan, air panas kolam-kolam disini, berasal langsung dari kawah galunggung. Meskipun, saya tidak menemukan satu aliran air panas pun di dalam kawahnya. Bahkan, danau kawah yang ada pun, tidak berair panas. Entahlah, mungkin, air-air itu mengalir langsung didalam tanah menuju langsung ke kolam-kolam itu. Ada sungai yang berair panas memang, namun, tidak yakin betul dari mana asal mulanya.
Setidaknya, ada dua jalur menuju Kawah Galunggung dari Cipanas ini. Pertama, anda bisa naik ojek atau berjalan kaki menuyusuri jalanan aspal, yang sama-sama dilalui oleh ojek dan kendaraan lain menuju pelataran parkir kawah. Namun, tentu saja, jalanan ini, menjadi sangat ramai oleh lalu-lalang kendaraan. Dan untuk yang tidak terlalu senang dengan keributan dan suara berisik kenalpot dan klakson kendaraan macam itu, tentu ini bukan opsi yang menarik.
Yang kedua, bisa mencoba jalur hutan. Tidak lebih pendek dari dari jalur pertama memang, namun sensasi trekking dengan hutan basah dan pemandangan yang indah, bisa menjadi penghibur. Jangan membayangkan hutan seperti Kalimantan atau Sumatra, namun, setidaknya, rimbunnya pepohonan dan semak-semak, serta semut yang menari-nari lucu di jalur tanah dan batu, cukup membuat kita berkeringat.
Hutan, Pasir dan Air Terjun
Kami, memilih jalur yang kedua. Hutan dengan segala panoramanya yang sudah lama kami rindu. Menyaksikan kabut yang menari-nari dikejauhan. Awan hujan yang menggantung diangkasa dan kicau burung-burung sepanjang trek perjalanan. Ini baru awalnya. Tapi, jangan buru-buru terpesona dengan pemandangan yang terlihat dari jalur ini, karena masih banyak kejutan-kejutan lain menanti didepan.
Setengah perjalanan, kami bertemu dengan sebuah warung nomaden ditengah hutan. Wah, menu rujak di siang bolong begini, ternyata boleh juga. Murah meriah pula. Dua ribu lima ratus rupiah saja untuk satu porsi kecil. Serta seribu rupiah untuk satu potong nanas yang manis dan segar. Lumayan menghibur setelah satu jam perjalanan membelah hutan dan menapaki jalan setapak yang terkadang menjadi licin karena air hujan.
Jalan potong ini, berakhir dipertemuan dengan jalur utama, yaitu, jalan beraspal yang tadi disebutkan. Dari sini, kita menyusur jalan aspal menuju ke atas. Anak tangga Galunggung yang berjumlah 620 tinggat, sudah terlihat dari ini.Ramai juga pengunjung yang datang. Meski cuaca mendung, nampaknya, mereka tidak terganggu. Bosan dengan jalan beraspal, kami memilih berbelok, menapaki jalanan pasir yang menanjak terus hingga ke parkiran. Yah, ini, jalanan pasir yang pertama kali. Meski beberapa kawan, menyumpah-nyumpah karena merasa ditipu dengan kata-kata “easy trekking” dalam itinerary kami, namun, itu tidak menyurutkan tekad untuk terus menapak naik.
Parkiran galunggung hari itu cukup ramai. Puluhan motor, bahkan mungkin ratusan sudah terparkir disana. Mobil-mobil bernomor kendaraan local maupun luar daerah, juga banyak terlihat disini. Memang, sebetulnya, kawah galunggung, bisa ditempuh dari bawah dengan mobil atau motor. Tarif ojek dari gerbang masuk sepuluh ribu rupiah saja. Anda akan diantar hingga ke parkiran ini, dan tinggal naik menyusur anak tangga yang 620 buah banyaknya. Kemudian, taraaaa… sampai di puncak. Namun, tidak bagi rombongan kami yang ingin mencoba sensasi lain.
Hujan turun menyambut kami yang sampai di parkiran Galunggung. Kabut tebal tiba-tiba menutupi panorama kota Tasik dan Ciamis yang dari tadi tampak dikejauhan. Awan mendung bergulung-gulung kearah timur, membentuk jembatan panjang yang tampak tidak berujung. Dan, curahan air hujan seperti tidak pernah berakhir.
Puncak kawah, memang tinggal sekedip mata dari sini. Tapi, tetap saja, meniti anak tangga bukan pilihan kami. Walhasil, kami menuju jalur pasir kembali untuk sampai dibibir kawah. Mula-mula, jalanan menanjak cukup tajam. Pasir hitam Galunggung yang basah oleh hujan, menempel disepatu dan sandal kami. Tapi, coba tengok ke belakang. Wow… gunung-gunung menghijau nampak dikejauhan. Dan garis awan gelap menjadikan panorama mistis yang memikat. Belum lagi, suara air terjun yang terdengar samar di sebelah kanan kami. Semuanya berpadu dengan nafas kami yang terengah-engah menapaki jalan sempit itu. Berkali-kali, kami berpapasan dengan rombongan wisatawan lokal – meskipun kami juga lokal – dijalur ini. Ada yang sudah berusia sangat lanjut, dan masih riang menuruni jalan berpasir ini. Wah, semangat kami kembali terpompa.
Sejurus kemudian, kami tiba dipuncak. Dari sini, panorama kawah galunggung terlihat megah. Lubang besar terbentang didepan mata, dengan dinding-dinding kehijauan yang megah dan agung. Beberapa air terjun, terlihat menyerupai selendang putih dari angkasa. Yah, tidak terlalu berlebihan, jika garis putih itu, menjuntai dari puncak Galunggung, dan membelahnya, menuju dasar kawah. Spektakuler. Semetara, air danau yang berwarna hijau toska, nampak tenang di bawah sana.
Kembali, ada dua jalur menuju kawah, tempat yang sudah disepakati untuk kami bermalam menghabiskan pergantian tahun. Jalur yang pertama, ada hanya beberapa meter saja dari kami. Dan jalur yang kedua membentuk huruf Z, yang lebih popular dengan nama jalur Zorro, karena bentuknya yang menyerupai tanda yang ditinggalkan oleh pahlawan bertopeng kenamaan Zorro, dan berada di seberang sana. Berjarak, lebih dari dua puluh menit perjalanan menapaki puncak. Dan kami, memilih jalur yang kedua.
Bintang, Kawah dan Pergantian Tahun
Gerimis masih turun sesekali. Namun, tidak menyurutkan kami untuk terus berjalan menuju jalan berbentuk huruf Z tersebut. Jalur ini, semuanya pasir dan batu. Untuk menuruninya saja, perlu tenaga dan kehati-hatian ekstra apalagi untuk naik. Dan keputusan kami untuk menuruninya, ternyata tepat. Meski, beberapa kawan ternyata salah memprediksi jalur, dan menuruni jalur lurus sebelum jalur Z tersebut. Jadilah dua rombongan kami menuruni jalur berbeda. Namun, dari keduanya, tidak ada yang lebih mudah dari satu dengan lainnya. Semuanya memerlukan kehati-hatian yang cukup tinggi untuk menuruninya. Dan, bolehlah sejenak berhenti untuk menyaksikan panorama yang semakin mempesona dari sini.
Dalam dua puluh menit, dasar kawah sudah ditapaki. Ternyata, luas betul pelataran ini. Sebuah sungai besar membelah satu sisi kawah. Namun, tidak berair. Air dari air terjun yang nampak dikejauhan tadi, merembes habis sebelum mencapai danau. Tinggalah batuan besar dan kecil menjejali badan sungai yang lebar itu.
Malam ini, kami akan bermalam disalah satu sisi danau berair hijau itu. Dan tempat kami bermalam, betul-betul sempurna. Seorang kawan dari Tasik, membawakan kami nasi tutug oncom yang menggoyang lidah. Ini nasi terenak yang kami  makan dipenghujung tahun 2011. Lewat magrib, makan malam kami tersaji. Hari ini, menunya Spagetti yang pedas dan menghangatkan. Kopi dan teh menambah suasana malam ini menjadi semakin hagat. Sembari  menuju malam pergantian tahun.
Udara, sudah menjadi semakin dingin. Beberapa tenda di dekat kami masih menampakkan kegiatan yang sama. Memasak. Langit, masih sedikit mendung, namun berangsur-angsur terang. Hingga tepat ditengah malam, langit betul-betul sempurna. Jutaan bintang terhampar tanpa cela. Cahaya terang dari kembang api yang dibakar para pengunjung yang menginap, menambah semarak suasana malam ini. Kami ikut larut dalam suasana. Mentasbihkan doa dipergantian tahun, semoga hari esok menjadi lebih baik.
Beberapa menit berlalu, kami masih menikmati udara Galunggung yang dingin. Ini sudah berganti tahun, namun, waktu seperti berhenti disini. Keindahan malam ini, membius siapa saja yang datang.
Sejuta Bintang, Sejuta Harapan, Sejuta Kenangan
Galunggung, menjadi tempat kami berkontemplasi melewatkan pergantian tahun. Dan bintang-bintang malam itu, menjadi saksi betapa kami merindukan damai yang indah di muka bumi. Seandainya, semua orang merasa apa yang kami rasakan hari ini, dunia tentu saja akan menjadi semakin indah.
Lewat tengah hari, kami bergegas pulang. Melewati jalur yang lain. Jalur yang pertama yang akan kami pakai turun kemarin, sebelum memutuskan untuk menuruni jalur Z. Dan naik, memang tidak akan lebih mudah juga dari turun. Meskipun, jalur ini tidak terlalu berpasir, namun, tetap saja, masih membuat nafas ngos-ngosan.
Hujan turun dengan derasnya. Seperti ditumpahkan dari langit ketika kami tiba di atas. Dan kami, mencoba jalur tangga untuk turun. Menuruni 620 anak tangga menuju parkiran dikala hujan deras, memang mengesankan. Licin dan terjal. Dibawah, ratusan orang menyerbu warung-warung untuk  berteduh. Kami memutuskan mengisi perut dan menghangatkan tubuh diwarung yang kemarin kami “serang”. Namun, melihat hujan yang nampaknya belum mau berhenti juga, kami nekat menerobosnya. Sebagian rombongan, menyewa ojek untuk turun, dan sebagian yang lain, turun dengan jalur yang sama seperti waktu naik kemarin.
Hari itu, Galunggung macet parah. Bahkan, aparat kepolisian yang membantu melancarkan lalulintas di jalur galunggung, kewalahan mengurai kemacetan lebih dari 2KM menuuju kebawah. Jadilah kami berjalan kami mengambil jalur alternative, sambil menanti kajaiban bertemu mobil kosong yang bisa disewa. Hingga akhirnya, keajaiban itu benar-benar terjadi. Sebuah angkot berhasil kami sewa dengan ongkos empat ribu rupiah seorang.
Sejuta harapan kami ucapkan dimalam pergantian tahun di Galunggung. Sejuata kenangan tersimpan lewat photo-photo dan memori otak kami. Tasikmalaya, memang mempesona. Kelak, saya akan datang lagi mengunjungi sudut mu yang lain. Mari berkemas kawan-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar