Siapa yang tak tahu Tasikmalaya. Kabupaten di provinsi Jawa Barat yang punya segudang pesona.
Daerah penghasil kerajinan tangan nya yang berkwalita tingkat tinggi,
makananya, yang memanjakan indra perasa kita, dan tentu saja, potensi
wisatanya yang tidak kalah menawan. Pantai Cipatujah dan Kawah Gunung
Galunggung, dua diantaranya. Selain, ada banyak tempat lagi yang tentu
saja, bisa menjadi tujuan wisata kita.
Kali ini, Galunggung, menjadi tujuan
saya untuk menghabiskan malam pergantian tahun. Galunggung dipilih,
karena lokasinya yang tidak terlalu jauh dari Jakarta, dan bisa ditempuh
dengan perjalanan darat yang cukup mudah. Serta, tentu saja dengan
ongkos yang masih masuk akal, dikala liburan. Berikut catatan perjalanan
kami.
Pagi Hari di Tasikmalaya
Adzan subuh sudah lama lewat, bahkan
ketika kami masuk dikota ini. Namun, gambaran religius nya kota berpagar
gunung-gunung hijau ini masih terasa. Bahkan, sebuah masjid besar,
berdiri kokoh di kawasan terminal Tasik yang megah. Jauh dari kesan
terminal yang kotor dan muram. Majid ini, terletak di pintu masuk
kendaraan. Dari jalan raya sekalipun, kita bisa melihat betapa megahnya
tempat ini. Ini baru satu, anda tahu, Itje Trisnawati dan Evie Tamala?
Dua pesohor dangdut negeri ini, konon membangun masjid yang dinamai
dengan nama mereka masing-masing. Begitu kuatnya tingkat ke islaman
penduduk di Tasik, setidaknya, ini bisa jadi gambaran yang mungkin saja
benar.
Terguncang dalam bus ekonomi bertarif
eksekutif selama lebih dari lima jam, kami akhirnya menginjakkan kaki di
tanah sunda Tasikmalaya. Udara sejuk menyeruak. Beberapa tukang ojek
menawarkan tumpangan, dan beberapa yang lain menawarkan jasa angkutan.
Hasilnya, kami sepakat menyewa sebuah angkot untuk menuju ke kawasan
wisata Galunggung. Namun, kami tidak buru-buru naik, warung bubur ayam
di seberang terminal Indihiyang – Kota Tasikmalaya, nampaknya lebih
menarik untuk disambangi lebih dulu. Jadilah, godaan bubur ayam dan
udara dingin, serta kantuk yang masih menempel dipelupuk mata, menjadi
kombinasi yang kami lewati pagi ini.
Puas mengisi perut, kami bergegas menuju
tempat tujuan kami dengan angkot sewaan. Kota ini tidak terlalu penuh
ramai. Namun, geliat pagi sudah nampak dari sejak matahari terbit. Udara
semakin dingin, ketika kami tiba di pelataran parkir Pemandian Air
Panas Cipanas. Dalam bahasa Indonesia, Cipanas berarti Air Panas. Ci
berarti Air, dan Panas, berarti panas. Pemandian ini, berada dalam satu
kawasan dengan Wisata Alam Galunggung yang akan kami datangi. Masih
tidak terlalu ramai, namun, sudah mulai menampakkan aktifitasnya.
Pemandian Cipanas, Awal “Soft Trekking” Galunggung
Jangan bayangkan mandi air panas seperti
di hotel kelas atas. Ini adalah kawasan pemandian air panas umum. Anda
hanya harus membayar tiket masuk, yang sekaligus tiket untuk ke Kawah
Galunggung, jika mau.
Ada beberapa kolam berbentuk kolam
renang, dengan tingkat kehangatan yang berbeda. Menurut informasi yang
saya dapatkan, air panas kolam-kolam disini, berasal langsung dari kawah
galunggung. Meskipun, saya tidak menemukan satu aliran air panas pun di
dalam kawahnya. Bahkan, danau kawah yang ada pun, tidak berair panas.
Entahlah, mungkin, air-air itu mengalir langsung didalam tanah menuju
langsung ke kolam-kolam itu. Ada sungai yang berair panas memang, namun,
tidak yakin betul dari mana asal mulanya.
Setidaknya, ada dua jalur menuju Kawah
Galunggung dari Cipanas ini. Pertama, anda bisa naik ojek atau berjalan
kaki menuyusuri jalanan aspal, yang sama-sama dilalui oleh ojek dan
kendaraan lain menuju pelataran parkir kawah. Namun, tentu saja, jalanan
ini, menjadi sangat ramai oleh lalu-lalang kendaraan. Dan untuk yang
tidak terlalu senang dengan keributan dan suara berisik kenalpot dan
klakson kendaraan macam itu, tentu ini bukan opsi yang menarik.
Yang kedua, bisa mencoba jalur hutan.
Tidak lebih pendek dari dari jalur pertama memang, namun sensasi
trekking dengan hutan basah dan pemandangan yang indah, bisa menjadi
penghibur. Jangan membayangkan hutan seperti Kalimantan atau Sumatra,
namun, setidaknya, rimbunnya pepohonan dan semak-semak, serta semut yang
menari-nari lucu di jalur tanah dan batu, cukup membuat kita
berkeringat.
Hutan, Pasir dan Air Terjun
Kami, memilih jalur yang kedua. Hutan
dengan segala panoramanya yang sudah lama kami rindu. Menyaksikan kabut
yang menari-nari dikejauhan. Awan hujan yang menggantung diangkasa dan
kicau burung-burung sepanjang trek perjalanan. Ini baru awalnya. Tapi,
jangan buru-buru terpesona dengan pemandangan yang terlihat dari jalur
ini, karena masih banyak kejutan-kejutan lain menanti didepan.
Setengah perjalanan, kami bertemu dengan
sebuah warung nomaden ditengah hutan. Wah, menu rujak di siang bolong
begini, ternyata boleh juga. Murah meriah pula. Dua ribu lima ratus
rupiah saja untuk satu porsi kecil. Serta seribu rupiah untuk satu
potong nanas yang manis dan segar. Lumayan menghibur setelah satu jam
perjalanan membelah hutan dan menapaki jalan setapak yang terkadang
menjadi licin karena air hujan.
Jalan potong ini, berakhir dipertemuan
dengan jalur utama, yaitu, jalan beraspal yang tadi disebutkan. Dari
sini, kita menyusur jalan aspal menuju ke atas. Anak tangga Galunggung
yang berjumlah 620 tinggat, sudah terlihat dari ini.Ramai juga
pengunjung yang datang. Meski cuaca mendung, nampaknya, mereka tidak
terganggu. Bosan dengan jalan beraspal, kami memilih berbelok, menapaki
jalanan pasir yang menanjak terus hingga ke parkiran. Yah, ini, jalanan
pasir yang pertama kali. Meski beberapa kawan, menyumpah-nyumpah karena
merasa ditipu dengan kata-kata “easy trekking” dalam itinerary kami,
namun, itu tidak menyurutkan tekad untuk terus menapak naik.
Parkiran galunggung hari itu cukup
ramai. Puluhan motor, bahkan mungkin ratusan sudah terparkir disana.
Mobil-mobil bernomor kendaraan local maupun luar daerah, juga banyak
terlihat disini. Memang, sebetulnya, kawah galunggung, bisa ditempuh
dari bawah dengan mobil atau motor. Tarif ojek dari gerbang masuk
sepuluh ribu rupiah saja. Anda akan diantar hingga ke parkiran ini, dan
tinggal naik menyusur anak tangga yang 620 buah banyaknya. Kemudian,
taraaaa… sampai di puncak. Namun, tidak bagi rombongan kami yang ingin
mencoba sensasi lain.
Hujan turun menyambut kami yang sampai
di parkiran Galunggung. Kabut tebal tiba-tiba menutupi panorama kota
Tasik dan Ciamis yang dari tadi tampak dikejauhan. Awan mendung
bergulung-gulung kearah timur, membentuk jembatan panjang yang tampak
tidak berujung. Dan, curahan air hujan seperti tidak pernah berakhir.
Puncak kawah, memang tinggal sekedip
mata dari sini. Tapi, tetap saja, meniti anak tangga bukan pilihan kami.
Walhasil, kami menuju jalur pasir kembali untuk sampai dibibir kawah.
Mula-mula, jalanan menanjak cukup tajam. Pasir hitam Galunggung yang
basah oleh hujan, menempel disepatu dan sandal kami. Tapi, coba tengok
ke belakang. Wow… gunung-gunung menghijau nampak dikejauhan. Dan garis
awan gelap menjadikan panorama mistis yang memikat. Belum lagi, suara
air terjun yang terdengar samar di sebelah kanan kami. Semuanya berpadu
dengan nafas kami yang terengah-engah menapaki jalan sempit itu.
Berkali-kali, kami berpapasan dengan rombongan wisatawan lokal –
meskipun kami juga lokal – dijalur ini. Ada yang sudah berusia sangat
lanjut, dan masih riang menuruni jalan berpasir ini. Wah, semangat kami
kembali terpompa.
Sejurus kemudian, kami tiba dipuncak.
Dari sini, panorama kawah galunggung terlihat megah. Lubang besar
terbentang didepan mata, dengan dinding-dinding kehijauan yang megah dan
agung. Beberapa air terjun, terlihat menyerupai selendang putih dari
angkasa. Yah, tidak terlalu berlebihan, jika garis putih itu, menjuntai
dari puncak Galunggung, dan membelahnya, menuju dasar kawah.
Spektakuler. Semetara, air danau yang berwarna hijau toska, nampak
tenang di bawah sana.
Kembali, ada dua jalur menuju kawah,
tempat yang sudah disepakati untuk kami bermalam menghabiskan pergantian
tahun. Jalur yang pertama, ada hanya beberapa meter saja dari kami. Dan
jalur yang kedua membentuk huruf Z, yang lebih popular dengan nama
jalur Zorro, karena bentuknya yang menyerupai tanda yang ditinggalkan
oleh pahlawan bertopeng kenamaan Zorro, dan berada di seberang sana.
Berjarak, lebih dari dua puluh menit perjalanan menapaki puncak. Dan
kami, memilih jalur yang kedua.
Bintang, Kawah dan Pergantian Tahun
Gerimis masih turun sesekali. Namun,
tidak menyurutkan kami untuk terus berjalan menuju jalan berbentuk huruf
Z tersebut. Jalur ini, semuanya pasir dan batu. Untuk menuruninya saja,
perlu tenaga dan kehati-hatian ekstra apalagi untuk naik. Dan keputusan
kami untuk menuruninya, ternyata tepat. Meski, beberapa kawan ternyata
salah memprediksi jalur, dan menuruni jalur lurus sebelum jalur Z
tersebut. Jadilah dua rombongan kami menuruni jalur berbeda. Namun, dari
keduanya, tidak ada yang lebih mudah dari satu dengan lainnya. Semuanya
memerlukan kehati-hatian yang cukup tinggi untuk menuruninya. Dan,
bolehlah sejenak berhenti untuk menyaksikan panorama yang semakin
mempesona dari sini.
Dalam dua puluh menit, dasar kawah sudah
ditapaki. Ternyata, luas betul pelataran ini. Sebuah sungai besar
membelah satu sisi kawah. Namun, tidak berair. Air dari air terjun yang
nampak dikejauhan tadi, merembes habis sebelum mencapai danau. Tinggalah
batuan besar dan kecil menjejali badan sungai yang lebar itu.
Malam ini, kami akan bermalam disalah
satu sisi danau berair hijau itu. Dan tempat kami bermalam, betul-betul
sempurna. Seorang kawan dari Tasik, membawakan kami nasi tutug oncom
yang menggoyang lidah. Ini nasi terenak yang kami makan dipenghujung
tahun 2011. Lewat magrib, makan malam kami tersaji. Hari ini, menunya
Spagetti yang pedas dan menghangatkan. Kopi dan teh menambah suasana
malam ini menjadi semakin hagat. Sembari menuju malam pergantian tahun.
Udara, sudah menjadi semakin dingin.
Beberapa tenda di dekat kami masih menampakkan kegiatan yang sama.
Memasak. Langit, masih sedikit mendung, namun berangsur-angsur terang.
Hingga tepat ditengah malam, langit betul-betul sempurna. Jutaan bintang
terhampar tanpa cela. Cahaya terang dari kembang api yang dibakar para
pengunjung yang menginap, menambah semarak suasana malam ini. Kami ikut
larut dalam suasana. Mentasbihkan doa dipergantian tahun, semoga hari
esok menjadi lebih baik.
Beberapa menit berlalu, kami masih
menikmati udara Galunggung yang dingin. Ini sudah berganti tahun, namun,
waktu seperti berhenti disini. Keindahan malam ini, membius siapa saja
yang datang.
Sejuta Bintang, Sejuta Harapan, Sejuta Kenangan
Galunggung, menjadi tempat kami
berkontemplasi melewatkan pergantian tahun. Dan bintang-bintang malam
itu, menjadi saksi betapa kami merindukan damai yang indah di muka bumi.
Seandainya, semua orang merasa apa yang kami rasakan hari ini, dunia
tentu saja akan menjadi semakin indah.
Lewat tengah hari, kami bergegas pulang.
Melewati jalur yang lain. Jalur yang pertama yang akan kami pakai turun
kemarin, sebelum memutuskan untuk menuruni jalur Z. Dan naik, memang
tidak akan lebih mudah juga dari turun. Meskipun, jalur ini tidak
terlalu berpasir, namun, tetap saja, masih membuat nafas ngos-ngosan.
Hujan turun dengan derasnya. Seperti
ditumpahkan dari langit ketika kami tiba di atas. Dan kami, mencoba
jalur tangga untuk turun. Menuruni 620 anak tangga menuju parkiran
dikala hujan deras, memang mengesankan. Licin dan terjal. Dibawah,
ratusan orang menyerbu warung-warung untuk berteduh. Kami memutuskan
mengisi perut dan menghangatkan tubuh diwarung yang kemarin kami
“serang”. Namun, melihat hujan yang nampaknya belum mau berhenti juga,
kami nekat menerobosnya. Sebagian rombongan, menyewa ojek untuk turun,
dan sebagian yang lain, turun dengan jalur yang sama seperti waktu naik
kemarin.
Hari itu, Galunggung macet parah.
Bahkan, aparat kepolisian yang membantu melancarkan lalulintas di jalur
galunggung, kewalahan mengurai kemacetan lebih dari 2KM menuuju kebawah.
Jadilah kami berjalan kami mengambil jalur alternative, sambil menanti
kajaiban bertemu mobil kosong yang bisa disewa. Hingga akhirnya,
keajaiban itu benar-benar terjadi. Sebuah angkot berhasil kami sewa
dengan ongkos empat ribu rupiah seorang.
Sejuta harapan kami ucapkan dimalam
pergantian tahun di Galunggung. Sejuata kenangan tersimpan lewat
photo-photo dan memori otak kami. Tasikmalaya, memang mempesona. Kelak,
saya akan datang lagi mengunjungi sudut mu yang lain. Mari berkemas
kawan-
sumber : http://jejakpetualang.org/jp/?p=354
Tidak ada komentar:
Posting Komentar