Minggu, 27 Mei 2012

Gunung Gedhe

Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGGP) merupakan hutan hujan tropis seperti kebanyakan tersebar di Indonesia yang membentang di bagian Jawa Barat, dengan Puncak Gede (2958 mdpl) dan Pangrango (3019mdpl) sebagai titik tertinggi. Hutan seluas 22.851, 03 Ha dengan pintu masuk Cibodas yang berjarak 100 km dari Jakarta dan 89km dari Bandung ini, dahulunya merupakan habitat macan tutul, owa jawa, kepik raksasa, berbagai jenis kumbang, lutung, dan elang jawa yang populasinya mendekati punah.

Saya bersama satu orang teman berangkat duluan dari stasiun pasar minggu pasar baru, dengan menggunakan krl ke arah Bogor. Dari stasiun bogor naik angkot 03 ke dekat baranangsiang tempat ngetem angkot jurusan bogor-cianjur dan turun di pertigaan cibodas. Dari pertigaan, naik ke pintu  masuk gerbang dengan angkot dan tiba di gedung registrasiTNGGP. Kami berdua berangkat duluan karena kami janjian mengambil surat ijin pendakian dengan salah polisi hutan yang dengan baik hati membantu meregisterkan kami untuk mendaki. Karena untuk mendaki ke Gunung Gede/Pangrango pengunjung harus registrasi 7-30 hari sebelum hari –H. Akhir-akhir ini kami baru tahu pendaftaran dapat dilakukan di http://booking.gedepangrango.org. Dari sore kami berdua menunggu sebelas teman yang berangkat menyusul setelah jam kerja, dan mereka tida jam 02.00 pagi.

Perjalanan pun dimulai dengan melewati jalan setapak berbentuk tangga-tangga berbatu. Di kiri-kanan jalan setapak masih berupa taman-taman yang merupakan bagian dari taman wisata Cibodas. Sepuluh menit perjalanan, kita akan menemukan gerbang TNGGP yang sebenarnya. Disini kita harus registrasi ulang, barang bawaan akan diperiksa, dan kemungkinan sampah yang akan dihasilkan juga di-list dengan tujuan sampah-sampah tersebut dibawa turun kembali dan tidak dibuang sembarangan di hutan.

Dari gerbang registrasi ulang perjalanan dilanjutkan dengan masih jalan setapak berbatu. Lima belas menit kemudian kita akan menemukan telaga biru. Dan setengah jam perjalanan berikutnya kita akan tiba di persinggahan Panyangcangan. Perjalanan menuju persinggahan ini, selain jalan setapak berbatu juga banyak jembatan kayu yang dibeberapa tempat agak rapuh, jadi kita harus sangat hati-hati melewatinya. Tempat ini juga merupakan pertigaan. Kalau lurus akan menuju ke air terjun Cibeureum, sedangkan jika ingin ke Puncak Gede/Pangrango, maka kita harus berbelok ke kiri.

Perjalanan dilanjutkan dengan Sumber Air Panas sebagai tujuan awal. Dari Panyangcangan ke air panas, jalanan mulai menanjak dan berjarak sekitar 2.8km. di sini kita harus berhati-hati karena melewati jalan sempit, licin, dan berbatu, juga dialiri air panas. Jika air sedang surut, kita dapat berjalan di atas bebatuan, tetapi jika aliran sedang deras, siap-siap saja terkena air belerang dengan temperatur mencapai 65°C.

Kami memutuskan untuk berhenti sejenak di lapangan terbuka dekat sumber air panas untuk makan siang. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.30 jadi sudah sewajarnya perut pun minta diisi. Sambil menunggu makanan matang, sebagian shalat bergantian. Karena cuaca kurang memungkinkan ditambah kondisi seorang teman yang agak turun maka diputuskan untuk mendirikan tenda di tempat itu. Awalnya direncanakan akan berjalan malam hari sampai ke Kandang Badak, kurang lebih 2.3km dari tempat tersebut. Tetapi karena hujan tak kunjung berhenti, sampai jam 10 malam kami hanya bergelung di dalam tenda. Tenda cowok tergenang air karena tidak menggunakan matras. Tenda cewek lumayan basah juga karena rembesan air hujan. Tapi overall kami masih cukup nyaman walau agak sedikit basah.

Sekitar jam sebelas karena sudah kelaparan akhirnya kami memutuskan untuk memasak di tengah kegelapan malam. Untungnya hujan sudah mulai reda dan kering satu jam kemudian. Setelah hujan reda langit menjadi cerah, walaupun tidak ada bulan karena memang sudah saatnya bulan tua, tetapi bintang bertaburan. Meskipun tertutup pepohonan ketika saatnya bahkan bisa melihat bintang jatuh nan indah nian (ini kenapa tiba-tiba jadi sok puitis gini?? :P ). Untung juga kami nge-camp disini, karena berada ditepi aliran air panas. Baru kali ini saya camping dengan saat wudhu adalah saat terindah. Hangatnya itu lho.. ;) 

Keesokan harinya, setelah shalat subuh dan sarapan, perjalanan pun dilanjutkan. Kurang lebih 100 meter dari tempat kami mendirikan tenda, terdapat banyak tenda-tenda para pendaki lain. Ternyata itu adalah Kandang Batu, tempat persinggahan sebelum Kandang Badak. Setelah berjalan kurang lebih 3 jam dan bertemu dengan beberapa rombongan yang akan turun kami pun tiba di Kandang Badak. Di tempat ini juga banyak yang mendirikan tenda, mungkin karena tempatnya yang luas dan ada sumber air.

Dari Kandang Badak, puncak gede masih kurang lebih 3km dan jalannya pun semakin terjal. Klimaks pun tercapai saat harus melewati tanjakan terjal hampir sembilan puluh derajat. Tanjakan ini sampai disebut Tanjakan Setan karena ‘kondisi’-nya. Untungnya disediakan tali bersimpul untuk pegangan saat memanjat. Dari tanjakan setan harusnya terlihat puncak Pangrango, sayangnya turun kabut, jadi tidak terlihat deh..

Kurang lebih 300meter (pengukuran sotoy) kemudian akhirnya tibalah di puncak. Yatta!! Setelah berjalan dari jam tujuh pagi, sampai juga di puncak. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu siang. Melihat kawah dan tiang pancang 2958mdpl, penat yang tadi ditahan-tahan luruh ke tanah *lebay* . Meskipun hujan rintik-rintik dan tertutup kabut, tapi tak mengapalah. Setidaknya energi kembali di-recharge oleh Puncak Gede.

Waktu sudah menunjukkan pukul satu, teman saya  yang menjadi ketua tim mengatakan sudah saatnya turun, karena perjalanan turun melewati Gunung Putri harus dilewati paling cepat selama 5jam.

Turun ke arah timur Puncak Gede, kurang dari setengah jam kita akan disuguhi Padang rumput dan edelweiss yang sangat luas yang diberi nama Alun-alun Surya Kencana. Konon katanya, tempat ini merupakan tempat peristirahatan Pangeran Surya Kencana dan di saat-saat tertentu, pendaki bisa mendengarkan suara tapak kuda yang diduga rombongan Pangeran dan prajuritnya.

Tempat terbuka ini benar-benar bikin nyaman. Angin sepoi-sepoinya membuat mata mengantuk. Tapi baru sebentar saja kabut tebal menerpa. Hawa dingin menusuk tulang membuat kepala saya tiba-tiba nge-blank ditambah lagi ternyata sumber air sedang kering. Akhirnya dengan air seadanya dan terpaan kabut berangin kami pun memasak makan siang. Saat sedang memasak, kompor parafin dan spiritus keduanya mati kehabisan bahan bakar dan tiba-tiba saja korek api yang saya bawa tidak bisa dinyalakan. Untungnya kami bertemu dengan pendaki lain dan mereka mau meminjamkan korek mereka.

Angin dingin dan hujan tidak boleh jadi penghalang. Mau tidak mau hari itu harus segera pulang. Akhirnya pukul empat kami pun melanjutkan perjalanan.

Perjalanan dari Alun-alun Surya Kencana akan melewati 5 pos. Tapi hanya dua pos yang diberi tanda. Yang satu bertuliskan “Simpang Maleber, 2600mdpl” dan di pos terakhir “Buntut Lutung, 2250mdpl” (kalau saya tidak salah lihat). Normalnya perjalanan dapat ditempuh selama 5 jam, tapi bagi pemula seperti saya, baru 6.5jam kemudian tiba di pos akhir. Ditambah lagi saat tiba di persawahan datang badai. Untung saja hanya sekitar 15 menit dan 15 menit setelahnya kami tiba di perumahan penduduk di daerah Cipanas. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 22.30.
Perjalanan malam tentu saja lebih riskan. Takut salah jalan; jalanan yang gelap, licin, sempit,  dan akar-akar pohon yang menimpulkan potensi tersandung; suara-suara makhluk hutan; dan hawa dingin yang rentan menimbulkan depresi. Tapi toh semuanya harus dijalani. Tertinggal di sana jauh lebih menyeramkan daripada lelah yang harus dirasakan ketika memaksa turun.
Overall, pendakian kali ini, yang merupakan pendakian pertama saya (gunung tangkuban, gunung pangilun, gunung batu, dan gunung sahari tidak dihitung :P ), sangat berkesan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar