Minggu, 27 Mei 2012

Galunggung, Bertabur Bintang, di Penghujung Tahun

Siapa yang tak tahu Tasikmalaya. Kabupaten di provinsi Jawa Barat yang punya segudang pesona. Daerah penghasil kerajinan tangan nya yang berkwalita tingkat tinggi, makananya, yang memanjakan indra perasa kita, dan tentu saja, potensi wisatanya yang tidak kalah menawan. Pantai Cipatujah dan Kawah Gunung Galunggung, dua diantaranya. Selain, ada banyak tempat lagi yang tentu saja, bisa menjadi tujuan wisata kita.
Kali ini, Galunggung, menjadi tujuan saya untuk menghabiskan malam pergantian tahun. Galunggung dipilih, karena lokasinya yang tidak terlalu jauh dari Jakarta, dan bisa ditempuh dengan perjalanan darat yang cukup mudah. Serta, tentu saja dengan ongkos yang masih masuk akal, dikala liburan. Berikut catatan perjalanan kami.
Pagi Hari di Tasikmalaya
Adzan subuh sudah lama lewat, bahkan ketika kami masuk dikota ini. Namun, gambaran religius nya kota berpagar gunung-gunung hijau ini masih terasa. Bahkan, sebuah masjid besar, berdiri kokoh di kawasan terminal Tasik yang megah. Jauh dari kesan terminal yang kotor dan muram. Majid ini, terletak di pintu masuk kendaraan. Dari jalan raya sekalipun, kita bisa melihat betapa megahnya tempat ini. Ini baru satu, anda tahu, Itje Trisnawati dan Evie Tamala? Dua pesohor dangdut negeri ini, konon membangun masjid yang dinamai dengan nama mereka masing-masing. Begitu kuatnya tingkat ke islaman penduduk di Tasik, setidaknya, ini bisa jadi gambaran yang mungkin saja benar.
Terguncang dalam bus ekonomi bertarif eksekutif selama lebih dari lima jam, kami akhirnya menginjakkan kaki di tanah sunda Tasikmalaya. Udara sejuk menyeruak. Beberapa tukang ojek menawarkan tumpangan, dan beberapa yang lain menawarkan jasa angkutan. Hasilnya, kami sepakat menyewa sebuah angkot untuk menuju ke kawasan wisata Galunggung. Namun, kami tidak buru-buru naik, warung bubur ayam di seberang terminal Indihiyang – Kota Tasikmalaya, nampaknya lebih menarik untuk disambangi lebih dulu. Jadilah, godaan bubur ayam dan udara dingin, serta kantuk yang masih menempel dipelupuk mata, menjadi kombinasi yang kami lewati pagi ini.
Puas mengisi perut, kami bergegas menuju tempat tujuan kami dengan angkot sewaan. Kota ini tidak terlalu penuh ramai. Namun, geliat pagi sudah nampak dari sejak matahari terbit. Udara semakin dingin, ketika kami tiba di pelataran parkir Pemandian Air Panas Cipanas. Dalam bahasa Indonesia, Cipanas berarti Air Panas. Ci berarti Air, dan Panas, berarti panas. Pemandian ini, berada dalam satu kawasan dengan Wisata Alam Galunggung yang akan kami datangi. Masih tidak terlalu ramai, namun, sudah mulai menampakkan aktifitasnya.
Pemandian Cipanas, Awal “Soft Trekking” Galunggung
Jangan bayangkan mandi air panas seperti di hotel kelas atas. Ini adalah kawasan pemandian air panas umum. Anda hanya harus membayar tiket masuk, yang sekaligus tiket untuk ke Kawah Galunggung, jika mau.
Ada beberapa kolam berbentuk kolam renang, dengan tingkat kehangatan yang berbeda. Menurut informasi yang saya dapatkan, air panas kolam-kolam disini, berasal langsung dari kawah galunggung. Meskipun, saya tidak menemukan satu aliran air panas pun di dalam kawahnya. Bahkan, danau kawah yang ada pun, tidak berair panas. Entahlah, mungkin, air-air itu mengalir langsung didalam tanah menuju langsung ke kolam-kolam itu. Ada sungai yang berair panas memang, namun, tidak yakin betul dari mana asal mulanya.
Setidaknya, ada dua jalur menuju Kawah Galunggung dari Cipanas ini. Pertama, anda bisa naik ojek atau berjalan kaki menuyusuri jalanan aspal, yang sama-sama dilalui oleh ojek dan kendaraan lain menuju pelataran parkir kawah. Namun, tentu saja, jalanan ini, menjadi sangat ramai oleh lalu-lalang kendaraan. Dan untuk yang tidak terlalu senang dengan keributan dan suara berisik kenalpot dan klakson kendaraan macam itu, tentu ini bukan opsi yang menarik.
Yang kedua, bisa mencoba jalur hutan. Tidak lebih pendek dari dari jalur pertama memang, namun sensasi trekking dengan hutan basah dan pemandangan yang indah, bisa menjadi penghibur. Jangan membayangkan hutan seperti Kalimantan atau Sumatra, namun, setidaknya, rimbunnya pepohonan dan semak-semak, serta semut yang menari-nari lucu di jalur tanah dan batu, cukup membuat kita berkeringat.
Hutan, Pasir dan Air Terjun
Kami, memilih jalur yang kedua. Hutan dengan segala panoramanya yang sudah lama kami rindu. Menyaksikan kabut yang menari-nari dikejauhan. Awan hujan yang menggantung diangkasa dan kicau burung-burung sepanjang trek perjalanan. Ini baru awalnya. Tapi, jangan buru-buru terpesona dengan pemandangan yang terlihat dari jalur ini, karena masih banyak kejutan-kejutan lain menanti didepan.
Setengah perjalanan, kami bertemu dengan sebuah warung nomaden ditengah hutan. Wah, menu rujak di siang bolong begini, ternyata boleh juga. Murah meriah pula. Dua ribu lima ratus rupiah saja untuk satu porsi kecil. Serta seribu rupiah untuk satu potong nanas yang manis dan segar. Lumayan menghibur setelah satu jam perjalanan membelah hutan dan menapaki jalan setapak yang terkadang menjadi licin karena air hujan.
Jalan potong ini, berakhir dipertemuan dengan jalur utama, yaitu, jalan beraspal yang tadi disebutkan. Dari sini, kita menyusur jalan aspal menuju ke atas. Anak tangga Galunggung yang berjumlah 620 tinggat, sudah terlihat dari ini.Ramai juga pengunjung yang datang. Meski cuaca mendung, nampaknya, mereka tidak terganggu. Bosan dengan jalan beraspal, kami memilih berbelok, menapaki jalanan pasir yang menanjak terus hingga ke parkiran. Yah, ini, jalanan pasir yang pertama kali. Meski beberapa kawan, menyumpah-nyumpah karena merasa ditipu dengan kata-kata “easy trekking” dalam itinerary kami, namun, itu tidak menyurutkan tekad untuk terus menapak naik.
Parkiran galunggung hari itu cukup ramai. Puluhan motor, bahkan mungkin ratusan sudah terparkir disana. Mobil-mobil bernomor kendaraan local maupun luar daerah, juga banyak terlihat disini. Memang, sebetulnya, kawah galunggung, bisa ditempuh dari bawah dengan mobil atau motor. Tarif ojek dari gerbang masuk sepuluh ribu rupiah saja. Anda akan diantar hingga ke parkiran ini, dan tinggal naik menyusur anak tangga yang 620 buah banyaknya. Kemudian, taraaaa… sampai di puncak. Namun, tidak bagi rombongan kami yang ingin mencoba sensasi lain.
Hujan turun menyambut kami yang sampai di parkiran Galunggung. Kabut tebal tiba-tiba menutupi panorama kota Tasik dan Ciamis yang dari tadi tampak dikejauhan. Awan mendung bergulung-gulung kearah timur, membentuk jembatan panjang yang tampak tidak berujung. Dan, curahan air hujan seperti tidak pernah berakhir.
Puncak kawah, memang tinggal sekedip mata dari sini. Tapi, tetap saja, meniti anak tangga bukan pilihan kami. Walhasil, kami menuju jalur pasir kembali untuk sampai dibibir kawah. Mula-mula, jalanan menanjak cukup tajam. Pasir hitam Galunggung yang basah oleh hujan, menempel disepatu dan sandal kami. Tapi, coba tengok ke belakang. Wow… gunung-gunung menghijau nampak dikejauhan. Dan garis awan gelap menjadikan panorama mistis yang memikat. Belum lagi, suara air terjun yang terdengar samar di sebelah kanan kami. Semuanya berpadu dengan nafas kami yang terengah-engah menapaki jalan sempit itu. Berkali-kali, kami berpapasan dengan rombongan wisatawan lokal – meskipun kami juga lokal – dijalur ini. Ada yang sudah berusia sangat lanjut, dan masih riang menuruni jalan berpasir ini. Wah, semangat kami kembali terpompa.
Sejurus kemudian, kami tiba dipuncak. Dari sini, panorama kawah galunggung terlihat megah. Lubang besar terbentang didepan mata, dengan dinding-dinding kehijauan yang megah dan agung. Beberapa air terjun, terlihat menyerupai selendang putih dari angkasa. Yah, tidak terlalu berlebihan, jika garis putih itu, menjuntai dari puncak Galunggung, dan membelahnya, menuju dasar kawah. Spektakuler. Semetara, air danau yang berwarna hijau toska, nampak tenang di bawah sana.
Kembali, ada dua jalur menuju kawah, tempat yang sudah disepakati untuk kami bermalam menghabiskan pergantian tahun. Jalur yang pertama, ada hanya beberapa meter saja dari kami. Dan jalur yang kedua membentuk huruf Z, yang lebih popular dengan nama jalur Zorro, karena bentuknya yang menyerupai tanda yang ditinggalkan oleh pahlawan bertopeng kenamaan Zorro, dan berada di seberang sana. Berjarak, lebih dari dua puluh menit perjalanan menapaki puncak. Dan kami, memilih jalur yang kedua.
Bintang, Kawah dan Pergantian Tahun
Gerimis masih turun sesekali. Namun, tidak menyurutkan kami untuk terus berjalan menuju jalan berbentuk huruf Z tersebut. Jalur ini, semuanya pasir dan batu. Untuk menuruninya saja, perlu tenaga dan kehati-hatian ekstra apalagi untuk naik. Dan keputusan kami untuk menuruninya, ternyata tepat. Meski, beberapa kawan ternyata salah memprediksi jalur, dan menuruni jalur lurus sebelum jalur Z tersebut. Jadilah dua rombongan kami menuruni jalur berbeda. Namun, dari keduanya, tidak ada yang lebih mudah dari satu dengan lainnya. Semuanya memerlukan kehati-hatian yang cukup tinggi untuk menuruninya. Dan, bolehlah sejenak berhenti untuk menyaksikan panorama yang semakin mempesona dari sini.
Dalam dua puluh menit, dasar kawah sudah ditapaki. Ternyata, luas betul pelataran ini. Sebuah sungai besar membelah satu sisi kawah. Namun, tidak berair. Air dari air terjun yang nampak dikejauhan tadi, merembes habis sebelum mencapai danau. Tinggalah batuan besar dan kecil menjejali badan sungai yang lebar itu.
Malam ini, kami akan bermalam disalah satu sisi danau berair hijau itu. Dan tempat kami bermalam, betul-betul sempurna. Seorang kawan dari Tasik, membawakan kami nasi tutug oncom yang menggoyang lidah. Ini nasi terenak yang kami  makan dipenghujung tahun 2011. Lewat magrib, makan malam kami tersaji. Hari ini, menunya Spagetti yang pedas dan menghangatkan. Kopi dan teh menambah suasana malam ini menjadi semakin hagat. Sembari  menuju malam pergantian tahun.
Udara, sudah menjadi semakin dingin. Beberapa tenda di dekat kami masih menampakkan kegiatan yang sama. Memasak. Langit, masih sedikit mendung, namun berangsur-angsur terang. Hingga tepat ditengah malam, langit betul-betul sempurna. Jutaan bintang terhampar tanpa cela. Cahaya terang dari kembang api yang dibakar para pengunjung yang menginap, menambah semarak suasana malam ini. Kami ikut larut dalam suasana. Mentasbihkan doa dipergantian tahun, semoga hari esok menjadi lebih baik.
Beberapa menit berlalu, kami masih menikmati udara Galunggung yang dingin. Ini sudah berganti tahun, namun, waktu seperti berhenti disini. Keindahan malam ini, membius siapa saja yang datang.
Sejuta Bintang, Sejuta Harapan, Sejuta Kenangan
Galunggung, menjadi tempat kami berkontemplasi melewatkan pergantian tahun. Dan bintang-bintang malam itu, menjadi saksi betapa kami merindukan damai yang indah di muka bumi. Seandainya, semua orang merasa apa yang kami rasakan hari ini, dunia tentu saja akan menjadi semakin indah.
Lewat tengah hari, kami bergegas pulang. Melewati jalur yang lain. Jalur yang pertama yang akan kami pakai turun kemarin, sebelum memutuskan untuk menuruni jalur Z. Dan naik, memang tidak akan lebih mudah juga dari turun. Meskipun, jalur ini tidak terlalu berpasir, namun, tetap saja, masih membuat nafas ngos-ngosan.
Hujan turun dengan derasnya. Seperti ditumpahkan dari langit ketika kami tiba di atas. Dan kami, mencoba jalur tangga untuk turun. Menuruni 620 anak tangga menuju parkiran dikala hujan deras, memang mengesankan. Licin dan terjal. Dibawah, ratusan orang menyerbu warung-warung untuk  berteduh. Kami memutuskan mengisi perut dan menghangatkan tubuh diwarung yang kemarin kami “serang”. Namun, melihat hujan yang nampaknya belum mau berhenti juga, kami nekat menerobosnya. Sebagian rombongan, menyewa ojek untuk turun, dan sebagian yang lain, turun dengan jalur yang sama seperti waktu naik kemarin.
Hari itu, Galunggung macet parah. Bahkan, aparat kepolisian yang membantu melancarkan lalulintas di jalur galunggung, kewalahan mengurai kemacetan lebih dari 2KM menuuju kebawah. Jadilah kami berjalan kami mengambil jalur alternative, sambil menanti kajaiban bertemu mobil kosong yang bisa disewa. Hingga akhirnya, keajaiban itu benar-benar terjadi. Sebuah angkot berhasil kami sewa dengan ongkos empat ribu rupiah seorang.
Sejuta harapan kami ucapkan dimalam pergantian tahun di Galunggung. Sejuata kenangan tersimpan lewat photo-photo dan memori otak kami. Tasikmalaya, memang mempesona. Kelak, saya akan datang lagi mengunjungi sudut mu yang lain. Mari berkemas kawan-


Catatan Perjalanan: Gunung Semeru (14-17 Mei 2011)

Catatan Perjalanan: Gunung Semeru (14-17 Mei 2011)

Bagi para pendaki gunung di Indonesia, Gunung Semeru merupakan salah satu gunung wajib yang harus didatangi. Dengan predikat sebagai gunung tertinggi di pulau Jawa, Semeru juga terkenal dengan panorama atau keindahan alamnya yang mempesona. Namun dibalik keindahannya itu, Semeru juga menyimpan potensi bahaya yang besar bagi mereka yang mendekatinya.

Setidaknya sudah 29 pendaki yang menjadi korban. Korban pertama Semeru, aktivis era 1960an dan juga salah satu pendiri Mapala UI, Soe Hok Gie dan teman pendakiannya, Idhan Lubis yang tewas karena menghirup gas beracun di puncak semeru pada tahun 1969. Korban terakhir semeru tercatat pada tahun 2009 adalah Andika Listyono Putra, mahasiswa fisipol UGM yang jatuh ke jurang di sekitar puncak dan Hanafi, pendaki dari Jember yang meninggal di Ranu Kumbolo.

Keinginan gw sendiri untuk datang ke Semeru sebenernya sudah ada sejak SMA, yang padahal waktu itu gw sama sekali ga pernah sekali pun naik gunung. Berawal dari membaca buku harian Soe Hok Gie, Gunung Semeru bener2 sangat membekas di dalam memori. Sampai akhirnya kesempatan datang juga kurang lebih 5 atau 6 tahun kemudian.

Berawal dari acara pendakian bersama Gunung Semeru yang diadakan melalui ajakan di dunia maya, akhirnya gw ikutan untuk gabung dalam acara tersebut. Di rombongan gw bener2 ketemu orang-orang baru karena ini bukan grup dimana gw biasa naik gunung bareng, yaitu OANC.

Seminggu sebelum keberangkatan, hari minggu tanggal 7 Mei 2011 gw pergi ke stasiun pasar senen untuk memesan tiket Kereta Ekonomi Matarmaja jurusan Jakarta - Malang. Dan selama seminggu gw mempersiapkan peralatan, perlengkapan, dan logistik sesuai dengan itinerary yg gw posting sebelumnya.
Hari H keberangkatan, packing-an gw ternyata ga muat masuk carrier.

Setelah beberapa item logistik dikurangi akhirnya gw siap menuju ke stasiun pasar senen. Ini pertama kalinya gw bawa carrier dengan logistik yang agak banyak dan berat karena biasanya gw cuma camping 2 hari 1 malam, sedangkan di trip ini kemungkinan bisa 3 hari 2 malam.

Jumat, 13 Mei 2011
Pukul 10 pagi bertolak menuju Senen dengan menggunakan bus, sampai disana pukul 11.30 gw langsung nyari masjid terdekat untuk sholat jumat dulu. Pukul 13.15 gw jalan ke stasiun dan bertemu dengan rombongan Jakarta. Setelah ngobrol2 sebentar ternyata gw sendirian di gerbong 3, sedangkan yang lain berada di gerbong 1 dan 2. Pukul 14.05 kereta berangkat dari stasiun Pasar Senen.

Sabtu, 14 Mei 2011
Sampai di Stasiun Kota Baru, Malang, pukul 7.30 pagi. Di stasiun, tim dari Jakarta yang menggunakan pesawat dan teman2 dari Malang dan Surabaya merapat untuk bergabung. Dari sini kami menyewa dua mobil untuk mengantarkan ke Tumpang. Dari Tumpang, semua anggota pendakian berkumpul dan menyewa dua  buah truk untuk digunakan menuju Ranu Pane.

Ranu Pane
Ranu Pane
Pukul 14.00 tiba di desa Ranu Pane yang merupakan desa terakhir menuju jalur pendakian gunung Semeru, kami melakukan registrasi pendakian Dengan melampirkan surat keterangan sehat dan fotokopi KTP di pos Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).

Pukul 15.30 ketika datang tim dari Gresik yang berencana mau jalan duluan, gw ikutan aja nimbrung dengan maksud supaya ada kesempatan dapat sunset di Ranu Kumbolo.

Jalur dari Ranu Pane menuju Ranu Kumbolo ternyata cukup jauh, kira2 dibutuhkan waktu tempuh 3 jam perjalanan. Pukul 18.30 tiba di Ranu Kumbolo hari sudah gelap sehingga kami langsung mendirikan tenda untuk beristirahat. Tenda gw persis di pinggir Ranu Kumbolo. :D

Malam hari di Ranu Kumbolo sangat dingin. Tercatat temperatur sempat mencapai 12,6 derajat celcius pada dini hari. Pukul 3.30 gw terbangun karena kedinginan dan mulai beraktivitas sendirian di dalam tenda agar suhu tubuh menjadi agak lebih hangat.

Sampai akhirnya yang lain juga bangun dan bersiap2 menunggu sunrise yang akan muncul dibalik bukit.





Pagi hari Ranu Kumbolo sangat ramai dengan pendaki. Gw juga sempet ketemu dengan rombongan senior2 OANC dan ngobrol sebentar sama om Smigun, tadinya gw mau ikut rombongan ini cuma telat ga kebagian tiket kereta barengan. hehe..

Minggu, 15 Mei 2011
Setelah sarapan, bongkar tenda dan bersiap2 packing untuk menuju Kalimati pukul 9.45. Pertama-tama kita melewati tanjakan cinta, mitosnya kalo kita bisa lewat tanjakan cinta tanpa menoleh kebelakang sampai diatas maka bagi yang punya kekasih akan langgeng.. haha.. ada2 aja..
Dari atas Tanjakan Cinta, pemandangan danau Ranu Kumbolo terlihat sangat indah.

view dari atas Tanjakan Cinta
Setelah Tanjakan Cinta, jalur melipir bukit untuk melewati Oro-oro ombo (2460 Mdpl), yang merupakan padang rumput atau sabana yang sangat luas. Oro-oro sendiri artinya ilalang, sedangkan ombo berarti luas. Berjalan di Oro-oro ombo membuat kita lupa akan rasa lelah.

setelah Tanjakan Cinta menuju Oro-oro ombo

Oro-oro ombo
Sampai di cemoro kandang (2500 Mdpl), kita akan memasuki batas hutan yang terdiri hutan pinus atau cemara yang diselingi dengan semak belukar. Medan yang dilalui agak landai dan tidak terlalu menanjak. Sampai tiba di Jambangan, vegetasi sudah mulai dihiasi tumbuhan Cantigi dan Edelweis yang jumlahnya tidak terlalu banyak.

hutan cemara / pinus di sekitar Cemoro Kandang
view puncak Mahameru dari Jambangan

Dari Jambangan sebenarnya puncak Mahameru sudah terlihat jelas apabila cuaca sedang cerah dan tidak tertutup kabut. Berjalan sebentar dari Jambangan akan memasuki Kalimati (2700 Mdpl) yang merupakan batas pendakian yang diizinkan oleh Taman Nasional. Melewati Kalimati berarti setiap pendaki menanggung sendiri risiko dan keselamatannya masing-masing.

video ketika gw sampai di Kalimati:


Sampai di Kalimati pukul 11.20 gw dan yang lainnya langsung menuju shelter berupa bangunan rumah yang sudah rusak. Gw menaruh tas carrier untuk bersama Pak Brur, Dio, dan satu lagi anak dari Mapala President University, Cikarang yg gw lupa namanya siapa, mengambil air di mata air sumbermanik.

Mengambil mata air disini diperingatkan untuk tidak mengambil air pada malam hari karena di saat tersebut macan tutul (panthera pardus) turun ke sumber air untuk minum. Selain itu, mitosnya ada penunggu disekitar mata air yang suka menyesatkan pendaki yang mengambil air.

Disaat mengambil air, Hujan deras tiba2 turun. Gw yang mengira sumber air dekat dengan Kalimati jadi tidak membawa ponco (jas hujan), alhasil gw balik ke Kalimati dengan keadaan basah kuyup. Untuk menghindari masuk angin gw segera ganti baju dengan baju kering. Tim Gresik dengan baik hati memasak makanan buat gw jadi gw ga usah repot2 masak. 

Karena hujan masih turun hingga malam, gw putuskan untuk tidak membuka tenda karena khawatir tenda akan bocor karena derasnya hujan sehingga gw tidur didalam bangunan. Kemungkinan untuk bisa muncak ke Mahameru terancam gagal mengingat cuaca yang belum membaik.

Di dalam bangunan pos Kalimati gw sempet ngobrol dengan Bapak porter yang bener2 mengembalikan semangat gw. Kata beliau: menurut saya ini ujian buat para pendaki, mana yang benar2 niat ke semeru atau cuma ikut2an aja. mungkin nanti malam hujannya berhenti..

Bener aja, Jam 23.00 hujan sudah berhenti. Gw ajak yang lain untuk bersiap2 muncak tapi banyak yang ragu2 dan mengurungkan niat karena udara dingin.

Senin, 16 Mei 2011
Pukul 00.00 akhirnya  gw dan dua orang yang kebetulan ketemu dijalan berangkat menuju Arcopodo. Rencananya kalau cuaca semakin baik maka gw akan lanjut ke puncak, tapi kalo sebaliknya maka terpaksa kembali lagi ke Kalimati. (opsi stay semalam lagi untuk ke puncak keesokan harinya).
Ternyata pendaki yang mau ke puncak cukup banyak juga, ada rombongan dari bapak2 bos astra honda, rombongan bule, dan tim lain yang semuanya dikawal porter. Sampai di batas vegetasi dengan jalur terjal berpasir, gw langsung menancapkan trekking pole ke pasir untuk mendaki. Penggunaan trekking pole bener2 sangat membantu dalam mendaki jalur pasir.

Karena habis diguyur hujan, jejak kaki pendaki sebelumnya di jalur pasir menjadi hilang. Hal ini ada keuntungan sama kerugiannya. Untungnya jalur menjadi tidak terlalu longsor ketika diinjak namun kerugiannya jalurnya menjadi terlihat lebih curam karena jadi lebih mirip perosotan dan buat gw yang baru sekali kesini menjadi bingung jalurnya yang mana.?

Untung ada porter yang sudah sering kesini yang bisa nunjukin jalur menuju puncak. Sesekali istirahat melihat pemandangan lampu2 kota Malang yang kelap kelip sangat indah dan menahan dingin angin dibalik batu-batu besar. Perjalanan selama 4 jam akhirnya gw sampai di Puncak Mahameru 3676 Mdpl pukul 4.05 pagi.

mas dan bapak porter/guide dari Rane Pane

Udara sangat dingin.. Angin berhembus sangat kencang di puncak Mahameru.

Gw berfoto di depan nisan atau plat : in memoriam Soe Hok Gie dan Idhan Lubis dan duduk2 menggigil sambil minum susu coklat kemasan menunggu sunrise. Cuaca yang berawan membuat sunrise tertutup dan gw sendiri udah merasa ga kuat dengan dinginnya, akhirnya gw turun dari puncak menuju Kalimati sebelum pukul 6 pagi.

video ketika di puncak mahameru pukul 04.05


video suasana puncak sebelum gw turun:


video ketika gw turun:


Ketika gw turun jalur sudah hancur dengan banyaknya pendaki yang naik. Bagi pendaki yang kesiangan dan baru mendaki pasti akan tambah kesulitan karena jalur longsor, naik selangkah bisa longsor turun dua langkah. haha..

Tapi bagi gw yang turun hal ini tidak berpengaruh. Cukup ngeglosor ngesot kebawah.. haha..
dan gw sempet ketemu temen2 yang semalem gw ajak muncak tapi ga mau, akhirnya mereka muncak juga tapi banyak yang ga sampai puncak karena udah kecapekan. Dan menurut info, kita harus sudah turun dari puncak sebelum pukul 9 pagi karena ada gas beracun yang berbahaya.

Sampai di Kalimati gw makan dan packing siap2 turun melaui jalur yang sama dengan jalur berangkat. Di Ranu Kumbolo sempat istirahat agak lama untuk menikmati keindahan dan akhirnya maghrib tiba di Ranu Pane untuk mandi, bersih2, sholat, makan dan bersiap2 untuk pulang ke Jakarta.

more photo : my flickr photoset

in memoriam

sunrise tertutup awan
gunung bromo terlihat di kejauhan mengepulkan asap vulkanik
Atas trip Semeru ini gw berterima kasih kepada:
1. Allah SWT yang memberikan keselamatan dari berangkat sampai pulangnya
2. Mama 
3. temen2 dari Grup Semesta (Semeru Same-same Kita)
4. temen2 dari Grup Setan Gunung Gresik
5. Porter dan Guide dari Desa Ranu Pane yang membantu gw menunjukkan jalan
6. temen2 dari OANC atas referensinya

kalo ada kesempatan lagi, pengen rasanya kembali kesana... :D
menikmati susu coklat panas di dalam tenda sambil menunggu matahari pagi terbit dibalik bukit di Ranu Kumbolo..




Sumber : http://fajarprasetyo.blogspot.com/2011/05/catatan-perjalanan-gunung-semeru-14-17.html

SEPENGGAL CATATAN DARI GUNUNG ARJUNO - WELIRANG

SEPENGGAL CATATAN 
DARI GUNUNG ARJUNO - WELIRANG
(Catatan Perjalanan 25-28 Juli 2011)
Oleh Y. Yulia Andriani

DIENGPLATEAU.COM - Gunung Arjuno (3.339 m dpl) adalah gunung api tua dan sudah tidak aktif, Sedangkan Gunung Welirang (3.156 m dpl), masih ada aktifitas yang ditunjukkan dengan adanya kawah belerang. Gunung Arjuno dan Gunung Welirang terletak pada satu gunung yang sama dan terletak dalam satu rangkaian dengan Gunung Anjasmoro dan Gunung Ringgit. Pada lembah-lembah diantaranya, terutama di lereng Gunung Arjuno dan Ringgit, terdapat puluhan peninggalan purbakala yang berserakan dan belum ditangani secara tuntas. Sebagian tertutup semak-belukar.

 

Gunung Arjuno (atau Rajuna, nama kuno) terletak di Malang, Jawa Timur, bertype Strato dan berada di bawah Pengelolaan Tahura Raden Soeryo. Biasanya gunung ini dicapai dari tiga titik pendakian yang cukup dikenal yaitu dari Lawang, Tretes dan Batu. Gunung Arjuno dan Gunung Welirang terletak di Propinsi Jawa Timur Indonesia, Kedua gunung ini berada pada satu gugusan pegunungan. Untuk jalur pendakian ke puncak Arjuno dapat dimulai dari berbagai tempat, yaitu Tretes, Purwosari – Pasuruan, Wonosari - Lawang (Kebun Teh), dan Sumber Brantas (Jurang Kwali). Pendakian kami melalui jalur Jurang Kwali-Wonosari.

Senin, 25 Juli 2011

Ye! Gunung terakhir! Hari ini saya bersama keempat tim pengembaraan dari UPL MPA Unsoed Sigit, Hata, Fajar, dan Mas Dosso mendaki gunung ketiga dalam rangkaian pendakian kami menuju Gunung Arjuno-Welirang setelah mendaki Gunung Raung dan Gunung Argopuro. Pukul 08.30 kami berangkat menuju Terminal Lama Probolinggo dengan bus Akas, satu-satunya bus jurusan Bremi – Probolinggo yang biasa mangkal tepat di samping Pesanggrahan.



Dari Terminal Lama kami naik angkot sampai Terminal Bayu Angga Probolinggo. Dari terminal naik bus jurusan Malang sampai Karanglo. Dari Karanglo naik angkot warna oranye menuju pasar Karang Ploso. Di sana seperti biasa saya dengan ditemani Hata bertugas berbelanja keperluan logistik untuk pendakian nanti.
   
Dari Karang Ploso naik angkot lagi sampai Pertigaan Batu-Selecta. Kami menyewa angkot sampai Jurang Kwali, tetapi tarifnya mahal jika dibanding dengan tarif asli yang ditempel di pintu angkot. Itulah karena kami tidak tahu. Di sepanjang jalan pemandangan yang kami lihat sangat indah. Perkebunan apel Malang yang diselingi lahan pertanian palawija terhampar luas di kaki pegunungan yang tampak biru megah di kejauhan.

Di Jurang Kwali kami sempat berputar-putar karena alur perizinan yang tidak jelas. Sampai akhirnya kami tiba di pemandian air panas Cangar untuk mengurus izin dan membeli tiket masuk. Di sana kami bertemu dengan anak Mapala yang memberitahu kami mengenai basecamp pendakian. Gunung Arjuno-Welirang jalur Sumber Brantas tidak ada basecamp khusus, tetapi biasa menginap di Warung Makan Bu Sutami di Jurang Kwali.

Akhirnya pada pukul 17.00 kami tiba di Warung Makan Bu Sutami. Di sana kami menginap semalam dan packing logistik. Beban yang akan kami bawa besok lebih berat dari pendakian sebelumnya karena semua barang akan dibawa melintas. Air pun direncanakan akan mengambil dari bawah karena sepanjang jalur pendakian Arjuno-Welirang-Lawang tidak ada sumber air.

Selasa, 26 Juli 2011

Tepat pukul 06.00 kami meninggalkan Warung Makan Bu Sutami menuju sumber air terakhir. Jalan menuju sumber air melewati areal pertanian berupa wortel dan kentang. Jalur yang ditempuh cukup membingungkan karena banyak persimpangan. Kami pun sempat berputar-putar cukup lama. Pada pukul 08.30 kami mengambil air di tandon dan sarapan pagi sebuah gubuk sampai pukul 10.50. Saat kami memulai perjalanan,matahari sudah bersinar terik terutama di areal pertanian kentang. Jalur yang ditempuh relatif landai dan sesekali menanjak saat masuk punggungan baru.

Pukul 12.50 kami tiba di Persimpangan Gunung Arjuno-Welirang dan melakukan coffee break sampai pukul 14.00. Di sana pun kami menyimpan cadangan air yang dibawa saya dan Fajar. Jalur menuju Puncak Welirang relatif terjal dan banyak pohon tumbang. Kami pun sempat tersesat di punggungan G.Kembar 1 karena jalurnya kurang jelas. Jalur melebar dan terdiri dari batu-batu putih di jalur penambang belerang. Pergerakan kami tidak begitu cepat karena Hata yang hari itu berulangtahun kelelahan. Saya sudah merasakannya di gunung pertama (G. Raung), sekarang giliran kau, Bung!

Di plawangan carrier kami ditinggal untuk mempercepat pergerakan dan hanya punya Fajar yang dibawa. Untuk mendaki Puncak Welirang disarankan memakai penutup hidung karena terdapat gas belerang yang dapat menyesakkan napas. Jalur menuju puncak berbatu-batu labil dan harus hati-hati. Pukul 17.25 kami sampai di Puncak Welirang, puncak ketiga kami. Sunset di puncak ini sungguh menakjubkan!

Di puncak kami hanya menghabiskan waktu 15 menit untuk berfoto karena hari sudah hampir malam dan berbahaya jika berlama-lama di puncak. Pukul 17.40 kami turun dan mendirikan camp di Pos Batu Besar pada koordinat 07° 44’01”LS dan 112° 34’24”BT.

Rabu, 27 Juli 2011

Hari ini adalah operasional menuju Puncak Arjuno. Kami mulai berjalan dari pukul 08.00 menuju Persimpangan Gunung Arjuno-Welirang. Di perjalanan kami bertemu dengan penambang belerang.

Dari persimpangan mengambil jalan yang menanjak ke arah kiri. Di antara rerumput ilalang dan pohon-pohon cemara terdapat sumber uap panas (fumarole) di beberapa tempat. Jalan landai begitu masuk savana, lalu melipir punggungan G.Kembar II. Pemandangan menuju Gunung Arjuno sangat indah, hampir sama dengan keadaan vegetasi di Gunung Argopuro. Bunga-bunga primula polifera yang kuning, edelweiss, rosseberry, dan rumput tumbuh subur di antara cemara-cemara yang menjulang.

Setelah melintas padang rumput, jalan menanjak di punggungan baru yang menuju puncak. Di salah satu dataran yang cukup luas kami melakukan ishoma pada pukul 12.25. Pukul 14.25 kami melanjutkan perjalanan. Dari tempat ishoma, Puncak Arjuno sudah terlihat tapi jalur yang ditempuh masih panjang dan bercuaca panas. Pada pukul 15.15 kami tiba di Tugu Perbatasan Malang-Pasuruan. Kaki kanan di Malang, kaki kiri di Pasuruan. Sakti, kan?

Akhirnya, pada pukul 15.30 kami tiba di Puncak Arjuno, puncak terakhir dalam operasional pengembaraan. Spanduk pengembaraan dan panji UPL MPA kembali terbentang di puncak gunung. Selembar merah putih besar yang berkibar-kibar menyambut kedatangan kami. Dengan berpegangan tangan kami berdiri di puncak itu, mengungkapkan rasa bahagia dan syukur kami. Alhamdulillah, Allah memberikan kami kekuatan untuk menyelesaikan pengembaraan ini.

Tak lama di puncak, kami segera turun menuju jalur Lawang. Di sekitar puncak terdapat empat tugu memorial. Setelah itu jalur terjal dengan vegetasi centigi, edelweiss, dan paku-pakuan. Pukul 16.50 tiba di pertigaan jalur Lawang dan jalur Purwosari. Kami putuskan untuk memaksimalkan pergerakan sebelum hari gelap. Akhirnya pada pukul 17.45 kami melakukan camp pada koordinat 07° 46’58”LS dan 112° 36’36”BT.

Rabu, 28 Juli 2011

Pukul 08.15 kami memulai perjalanan turun. Target hari ini adalah turun ke Pos Izin Pendaki di Desa Wonorejo Lawang dan menuju ke Surabaya. Jalur turun tidak begitu terjal, melewati hutan dan savana.Kejadian saat di Gunung Raung terjadi lagi. Kami kekurangan air karena kurang kontrol pemakaian.

Di sepanjang perjalanan, di kejauhan Gunung Semeru tampak mengintip di antara awan-awan tebal. Pukul 09.00 kami tiba di Shelter III (Pos Mahapena). Di sana kami break selama 15 menit sembari menikmati pemandangan menakjubkan di arah timur. Bukit-bukit bervegetasi rumput dan cemara begitu cerah bermandikan cahaya matahari. Gunung Semeru tampak mempertunjukkan pemandangan yang luar biasa, menyemburkan asap tebal ke langit yang sedang biru-birunya.

Jalur setelah Pos Mahapena cukup licin dan tertutup semak dan rerumputan, lalu masuk padang rumput yang sangat luas yang dikenal dengan nama Oro-Oro Ombo. Cuaca di Oro-Oro Ombo sangat terik, ditambah lagi dengan persediaan air yang sangat sedikit. Pemandangan di Oro-Oro Ombo begitu indah. Rumput-rumput yang hijau  kekuningan, bunga-bunga putih, tampak memesona dipadu dengan hamparan awan putih yang berarak di bawah kami.

Setelah Oro-Oro Ombo tiba di Shelter II (Pos Lincing). Di sini terdapat bangunan kayu yang dapat dimanfaatkan untuk bermalam. Dari Pos Lincing jalan lebar, kering, dan panjang. Terdapat pohon-pohon sengon kecil yang baru ditanam, saliara, rumput gajah, dan pisang.

Pukul 11.40 tiba di perkebunan teh. Dari bangunan tempat pengumpulan teh mengambil jalan ke arah kiri, lalu masuk jalan setapak di tengah perkebunan teh untuk mempercepat menuju Desa Wonorejo. Jalan menuju desa sangat jauh, sementara kerongkongan kami sudah terasa kering kehausan. Akhirnya pada pukul 12.50 kami tiba di Pos Izin Pendaki Desa Wonorejo Lawang. Di sana kami bersih-bersih, masak, dan yang paling penting minum sampai puas.

Setelah selesai beraktivitas, kami berangkat menuju Stasiun Lawang pada pukul 16.25 dengan menggunkan ojek, bonceng tiga dengan membayar Rp. 7.500,00/motor. Di Stasiun Lawang menunggu kereta komuter jurusan Stasiun Gubeng Surabaya sampai pukul 19.30. Pukul 21.00 kami tiba di Stasiun Gubeng dengan disambut live music. Sungguh perjalanan yang sangat mengesankan. It’s unforgettable moment !
 

Pulau Sempu



Perjalanan kami mulai dari tengah Ibu Kota, Stasiun Pasar Senen. Apalagi kalau bukan menumpang KA Ekonomi Matarmaja yang menempuh perjalanan kurang lebih 17 jam lamanya untuk menuju Malang. Bisa dibayangkan betapa lusuhnya wajah kami setelah sampai Stasiun Kota Baru Malang esok paginya. Inilah sensasi pertama kami dalam ber-backpacker-ria ke Malang. Untuk perjalanan sejauh itu kami hanya merogoh kocek sebesar Rp 51.000, itu hanya untuk tiket keretanya saja, dari rumah ke Stasiun Ps. Senen, silahkan hitung sendiri biayanya.
Setibanya di Malang, kami bergegas membersihkan badan dan berganti pakaian untuk melanjutkan perjalanan ke objek wisata kami yang pertama, Pulau Sempu.  Dari pusat kota Malang ke Pulau Sempu, kami harus melintasi daerah perbukitan, menyusuri hutan, berulang kali merasakan telinga yang pengang akibat tekanan udara yang tiba-tiba berubah. Nyaris 3 jam kami berdelapan terpaksa berhimpit-himpitan di dalam sebuah Avanza yang sengaja kami sewa selama pelesiran di Malang. 
Untuk dapat memasuki Pulau Sempu, kami harus transit terlebih dahulu di Pantai Sendang Biru untuk mengurus proses administrasi dan melakukan persiapan. Nama memang mencerminkan keadaan sesungguhnya, Pantai Sendang Biru benar-benar memiliki hamparan laut biru yang sungguh eksotis dan tiada duanya. Sungguh mengagumkan. Sebenarnya, dari delapan anggota tim yang berangkat, tujuh diantaranya termasuk saya, sama sekali buta tentang keadaan Pulau Sempu. Hanya Mas Erryco yang tahu karena sebelumnya beliau sudah pernah mondar-mandir keluar masuk ke area ini.
Kami menggunakan perahu sewaan yang ada di dermaga Sendang Biru untuk mencapai Pulau Sempu, sekitar sepuluh menit dengan biaya Rp 100.000 per perahu maksimal 15 orang untuk perjalanan pulang pergi dari dan menuju Pulau Sempu. Biaya tersebut sudah termasuk guide lokal dan di luar biaya tambahan yang akan dikenakan jika kami melebihi batas waktu sewa perahu.
Kesan pertama ketika memasuki kawasan Pulau Sempu adalah sungguh tempat ini luar biasa indah dan masih sangat asri. Setelah lima belas menit pertama melakukan perjalanan berlumpur dan berbatu sebagai jalur tracking yang kami tempuh, kesan itu, terutama untuk saya pribadi berubah menjadi “sumpah, gw gak mau lagi kesini, gilak, cape setengah mati ini, berapa lama lagi sih”. Mungkin beberapa kawan yang baru pertama kali pergi kesana akan atau pernah merasakan kesan tersebut. Ya, memang seperti itu keadaannya. Jalur tracking yang berat untuk orang seawam saya, berlumpur, licin, berbatu, batang pohong yang tumbang, dan akar dan sulur dimana-mana yang justru memudahkan kami mencari pegangan agar tidak jatuh terpeleset.
Rasanya, sepatu anti slip yang saya sewa sebelumnya di Sendang Biru untuk memudahkan perjalanan sudah tidak ada gunanya lagi. Karena pijakan kaki saya sering terbenam lumpur, jadilah sepatu itu berselimut lumpur tebal dan membuat saya kesulitan untuk berjalan. Dan akhirnya ditengah jalan saya putuskan untuk melepas dan menentengnya. Keadaan tidak berubah, saya malah lebih sering jatuh terpeleset lumpur. Jatuh terduduk berulang kali. Keringat bercucuran tak karuan, kaki dan tangan sudah gemetar rasanya kelelahan.
Saat itulah, ketika kami mulai putus asa. Sudah sangat, sangat, sangat merasakan keletihan dan menahan luka perih akibat lecet di telapak tangan dan kaki. Sudah payah mendaki dan turun bukit-bukit kecil. Sudah sangat ingin melompat dari tepi tebing. Saat itulah Segara Anakan berhasil kami lihat pesona kecantikannya. Sungguh kepuasaan yang mampu membayar dengan lunas semua jerih payah kami selama 2 jam menulusuri hutan lindung Pulau Sempu. Inilah mutiara Pulau Sempu yang kami incar sedari tadi.
Sayangnya, kami tidak bisa berlama-lama menikmati keindahan Segara Anakan. Kami tiba di Segara Anakan waktu itu sudah pukul 3 sore, artinya kami hanya punya waktu 1 jam untuk berleha-leha dan berfoto-foto ria di dalam surga dunia yang satu ini jika kami tidak mau keluar dari Pulau Sempu saat hari sudah gelap. Segara anakan sebenarnya adalah sebuah danau air asin yang berada di Pulau Sempu yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia dan untuk mencapainya hanya dapat ditempuh dengan perjalanan menerobos lebatnya hutan lindung Pulau Sempu.
Pengalaman melintasi track menuju Segara Anakan tidak lantas membuat kami merasa jauh lebih mudah melintasi jalur tracking saat perjalanan pulang. Sama saja. Berulang kali terpeleset, terbenam lumpur, kehausan karena perbekalan air minum yang sedikit, dan parahnya lagi, ternyata sudah terlalu sore bagi kami melakukan perjalanan pulang. Padahal kami meninggalkan Segara Anakan tepat jam 4 sore, sesuai rencana. Hari sudah gelap ketika kami berada dalam radius 15 menit dari pesisir Pulau Sempu. Dalam keadaan itu, sudah sulit sekali bagi kami untuk tetap berjalan dan tidak panik mengingat kondisi yang sudah sangat gelap dan kurang pencahayaan, belum lagi hewan-hewan nokturnal lokal yang sudah mulai menunjukkan aktivitasnya semakin menambah kecemasan kami.
Syukurlah, kami akhirnya sampai di pesisir Pulau Sempu dengan keadaan selamat dan semua anggota tim lengkap. Langit sudah benar-benar gelap saat itu. Kapal sewaan kembali membawa kami ke Pantai Sendang Biru. Kali ini pesona keindahaan lautan milik Sendang Biru sudah tak dapat kami nikmati, tetapi pemandangan yang tak kalah menakjubkan telah menyambut kami di hamparan langit di atas sana. Taburan bintang gemintang memanjakan mata kami. Sungguh sempurna sudah secuil bagian dari surga dunia yang kami nikmati hari ini.
Inilah kami, delapan muda mudi yang menyempatkan diri melancong ke tanah Jawa, Malang, berpelesir menikmati keindahan alam karya agung Sang Maha Indah.


Sumber http://penulis165.esq-news.com/2012/artikel/05/22/malang-pulau-sempu.html

Pantai Peh Pulo


Hem.. sudah lama juga kami tidak berpetualang menyusuri indahnya alam sekitar. Ya kira-kira sudah setengah tahunan semanjak kunjungan kami ke Pantai Pangi. Setelah selama itu akhirnya kami berkesempatan kembali untuk berpetualang menikmati keindahan alam. Meskipun harus ke pantai lagi :-( Eit! Tapi jangan kecewa dulu! ;-) Eksotika yang kami kami dapati pada petualangan kali ini sungguh memukau dan tak kalah dengan eksotika pada petualangan-petualangan kami terdahulu.

Pantai yang menjadi objek petualangan kami kali ini adalah Pantai Peh Pulo. Pantai Peh Pulo terletak di Desa Sumbersih Kecamatan Panggungrejo, Kabupaten Blitar. Nama Peh Pulo diambil dari nama pulau terbesar yang berada di seberang pantai ini, yakni Pulau Peh. Perlu diketahuai bahwa di seberang Pantai Peh Pulo memang terhampar deretan pulau karang nan indah. Selain disebut dengan sebutan Peh Pulo, pantai ini juga memeliki beberapa sebutan lain yakni, Pantai Pasir Putih Sumbersih dan Pantai Wedhi Ombo.

Sekelumit cerita tentang kami bahwa petualangan kali ini dipimpin langsung oleh Bokir (ketua D’Travellers) dan diikuti oleh aku(Galy), Kcing, serta sahabat kami Moko. Petualangan ini kami lakukan dengan mengendarai sepeda motor, dan syukurlah dapat berjalan lancar dan mengasikkan. Untuk mencapai pantai ini kami tinggal mengikuti rute ke arah Pantai Serang, kemudian di pertigaan beringin Panggungrejo kami berganti rute menuju Desa Sumbersih.

Meski terlihat santai, bukan berarti perjalanan kali ini mulus tanpa adanya hambatan. Hambatan yang harus kami hadapi berasal dari kondisi geografis Pulau Jawa. Seperti kita ketahui bahwa di bagian selatan Pulau Jawa terbentang  tembok kokoh Gunung Kidul yang memanjang dari Provinsi Jawa Timur hingga DIY. Tak ayal kami pun harus menaklukkannya sebelum dapat mencapai pantai. Kontur gunung yang sedikit terjal serta jalanan yang licin akibat hujan mempersulit petualangan kali ini. Jika tidak hati-hati siapapun bisa tergelincir, seperti yang dialami Moko dan Cing. Setelah mampu menghadapi semua rintangan yang ada, akhirnya kami pun dapat mencapai pantai.

Suasana Pantai Peh Pulo dan sekelilingnya sungguh memukau. Semua itu dipercantik oleh deretan pulau karang dan air lautnya yang cukup jernih sehingga membuat siapapun tak jemu-jemu untuk memandangnya. Sunguh hanya itu yang bisa kami katakan, mungkin foto-foto di atas lebih dapat dapat melukiskan suasana tersebut dengan lebih jelas

Meskipun dibentengi oleh deretan pulau-pulau kecil, namun ombak di pantai yang berpasir putih ini cukup menantang. Maklumlah karena pantai ini memang menghadap langsung ke laut lepas. Sungguh pantai yang full kombinasi. Kami pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini, kegembiraan kami pun tumpah ruwah bersama desiran ombak yang pecah manghantam karang. Semoga dengan ini kami bisa mengajak teman-teman untuk menikmati keceriaan itu juga.


Sumber : http://travellers2009.wordpress.com/2010/06/12/berbagi-keceriaan-dari-peh-pulo/

Melepas jenuh ke Pantai Karang Bolong Anyer


Untuk Anda warga Jakarta yang tiap hari selalu jenuh dengan rutinitas ataupun kemacetan, Anda punya alternatif tempat melepas stress lagi selain Ancol. Anda yang tinggal di luar kota pun tidak ada salahnya mengunjungi pantai yang unik ini. Perbukitan karang dan panorama indah yang mengelilinginya bisa Anda manfaatkan sebagai sarana berlibur dengan keluarga. Namanya pantai Karang Bolong Anyer.

Karang Bolong Anyer sendiri tidak jauh letaknya dari Jakarta. Jaraknya sekitar 140 kilometer atau kira-kira 2 jam perjalanan. Anda yang memakai mobil, bisa menuju ke tempat ini lewat pintu tol di Cilegon Timur, dan Anda akan berada di Jalan raya Anyer. Teruslah bergerak ke arah selatan.  

Sepanjang perjalanan, Anda juga tidak perlu khawatir dengan kondisi jalan yang rusak dan berlubang karena pemerintah setempat sudah memperbaikinya.

Menikmati Keindahan Goa dan Ombak Karang Bolong

Karang Bolong sendiri, sesuai namanya, berarti karang yang berlubang. Di pantainya, Anda memang akan melihat semacam goa dari karang yang berlubang, dan tembus ke sisi pantai lainnya. 

Hati-hati dengan ombak besar yang sering menghantam dinding-dinding goa, terutama untuk anak kecil. Dengan membeli tanda masuk seharga lima ribu rupiah per orang saja, Anda sudah bisa puas menyaksikan panorama goa dan laut yang indah ini.

Untuk Anda yang hobi berfoto, bisa mengambil gambar dari depan goa karang saja. Sebab akhir-akhir ini muncul peringatan untuk tidak masuk ataupun bersandar pada goa itu karena struktur karang goa yang mulai rapuh dan dikhawatirkan runtuh terkena ombak. 

Tapi Anda tidak perlu risau karena masi tetap bisa menikmati keindahan pantai ini dari sisi lainnya, diantaranya dari atas tebing atau ketinggian tertentu. Anak kecil atau orang yang takut ketinggian kurang disarankan mendaki permukaan tebing ini. Kalau sduah di atas, stress Anda seketika akan hilang melihat panorama laut lepas dengan deburan ombaknya yang menghantam karang!

Alternatif Taman Buatan dan Patung Binatang

Kalau ingin lebih menghabiskan waktu bersama putra-putri, Anda juga bisa manfaatkan taman buatan dan berbagai patung binatang yang ada di sekitar kompleks Karang Bolong Anyer. Taman-taman ini sudah dilengkapi dengan tempat bersantai ataupun wahana permainan anak-anak. Anda juga bisa mengajak putra-putri Anda berfoto dengan patung-patung binatang ini, lho!

Kalau kebetulan Anda tidak membawa bekal piknik, tidak perlu khawatir. Berbagai penjual makanan yang menjual beragam menu sangat mudah dijumpai di area ini. Di sekitar pantai juga banyak villa yang disewakan untuk wisatawan yang ingin menginap. 

Tarifnya beragam, mulai 400 sampai 800 ribu per malamnya. Dengan jarak yang relatif dekat dari kota padat seperti Jakarta dan Serang Banten, Karang Bolong Anyer memang bisa menjadi alternatif tempat berlibur yang menyenangkan.


Sumber http://www.anneahira.com/karang-bolong-anyer.htm

Pulau Tidung

Gugusan pulau seribu, memang sudah terkenal menjadi sebuah wisata alternatif menikmati wisata pantai. Salah satu icon baru yang menjadi daya tarik baru di pulau seribu yaitu pulau tidung dengan gugusan pulau2 di sekitarnya, dengan pantai pasir putih ..


Gugusan pulau seribu, memang sudah terkenal menjadi sebuah wisata alternatif menikmati wisata pantai. Salah satu icon baru yang menjadi daya tarik baru di pulau seribu yaitu pulau tidung dengan gugusan pulau2 di sekitarnya. Berkat ramainya informasi mengenai pulau tidung, akhirnya saya melangkahkan kaki ke sana. Untuk keberangkatan ke tidung sebenarnya ada 3 lokasi pelabuhan yang bisa di jadikan pelabuhan keberangkatan, yaitu Muara Angke, Marina Ancol dan satu lagi di daerah serang cuma nggak tau persisnya ..
Kebetulan hari itu saya berangkat dari pelabuhan Muara Angke, lokasi nya dekat dengan pasar Muara Angke.
Lokasi persisnya pelabuhan / lokasi kapal berangkat ke Tidung di Koordinat (S 06.10620 E 106.77573). Dari situ ada beberapa kapal yang berangkat ke Pulau Tidung, kebetulan pas saya sampai disana jam 1/2 6 pagi, kapal sudah penuh, untungnya masih dapat tempat dan kapal berangkat jam 6 tepat. Kapal ini berjejer sehingga untuk naik kita harus menyebrang dari satu kapal ke kapal yang lain. Takut kepleset juga, tapi bukannya takut air, tapi hii amit amit deh klo kecebur, harus mandi bunga 7 rupa plus wayang semalam suntuk kali .. hehe lebay .. tapi air nya ya ampun huiitam .. inget ya huiitam bukan hitam lagi ..  udah kaya oli bekas. Kapal penumpang ini kategorinya kalau diibaratkan rumah itu tipe RSSSSS atau Kapal sangat sederhana sehingga selonjorpun susah hehe.. Sebenarnya itu karena melimpahnya penumpang karena hari libur dan terbatasnya kapasitas, sehingga penumpang pun terpaksa duduk berdempet dempetan. Bayangkan saja satu kapal mungkin dengan kapasitas sekitar 30 orang di isi dengan 70 - 80 orang. Jika pernah naik kereta api atau kapal laut kelas ekonomi pada waktu lebaran, seperti itulah kondisinya.
Perjalanan dengan kapal kayu menuju Pulau Tidung harus ditempuh sejauh +/- 48km dengan kecepatan rata-rata 17km/jam alhasil kita harus terombang ambing selama 3 jam di kapal. Kalau mau cepat lagi bisa menggunakan kapal dari Marina, namun kapal ini hanya berkapasitas 30 orang, jadi agak susah untuk mendapatkan tiketnya.
Ini jadwal kapal dari Marina :
JKT - Pulau Seribu 08.00 - 08.30
Pulau Seribu - JKT 13.00 - 14.00
Ini jadwal lengkap nya untuk Kapal Motor dari Marina ke Pulau Seribu



Di Pulau Tidung banyak penginapan2 tapi kalau hari libur sebaiknya pesan dulu karena sering penuh, tapi kalau hari biasa nggak masalah saya kira.
Aktifitas yang bisa dilakukan di Pulau Tidung antara lain :
1. Bersepeda keliling kampung
2. Makan seafood, kalau makan rame2 bisa pesan alat2 bakar2an terus barbeque-an
3. Jalan2 ke Pulau Tidung kecil, pulau ini di hubungkan dengan jembatan kayu
4. Trip antar pulau, sewa kapal sekitar 400rb dengan guide, kalau tanpa guide +/- 300rb. Supaya hemat sebaiknya sewa 1 kapal rame rame buat 6 - 10 orang sehingga jatuhnya lebih hemat.
5. Snorkling, bisa ke Pulau Air, ataupun di sekitar Pulau Tidung, katanya disini spot paling bagus nya.


Spot yang terbagus katanya di sekitar pinggiran  Pulau Tidung. Kemarin cuma sempat coba di Pulau Air tapi yang agak ke tengah, kalau mau bagus katanya agak ke pinggir. Tapi sayangnya beberapa banyak yang sudah rusak terumbu karangnya sehingga di pinggir pinggir pantai banyak sisa sisa terumbu karang yang sudah mati, terbawa ombak dan bertebaran di pantai. Mungkin dulu masyarakat sini mencari ikan dengan bom atau racun .. uh sayang sekali ya .. Juga masalah sampah juga mungkin perlu mendapatkan perhatian khusus, karena di kepulauan seribu banyak sampah sampah dari Jakarta yang terdampar di pantai mulai dari botol, kursi jebol, selimut hingga spring bed .. :(
Setelah puas snorkling dan bermain di pantai, berhubung sudah jam 10, jadi kita minta pak "Kumis" panggilan akrab guide kami untuk pulang karena perjalanan 1 jam menuju Pulau Tidung karena kapal sekitar pukul 13.00 akan bertolak ke Muara Angke. Pukul 13.00 kapal berangkat dan Jam 16.00 sampai di Muara Angke, kemudian naik becak hingga keluar dari Pasar Angke, untuk menunggu jemputan .. jemputan taxi .. :D

Gua Gong



Perjalanan ke gua gong dari pantai klayar tdk terlalu jauh . pacitan terkenal dgn julukan kota 1001 gua. Ada banyak sekali gua-gua di pacitan tetapi yg paling terkenal adalah gua Gong.kenapa bisa dinamakan gong menurut guide yg membawa saya ke dalam perut bumi ini, karena sewaktu gua gong ini dibuka terdengar bunyi gong dan setelah itu bunyi tersebut hilang dgn sendirinya, tetapi ada banyak sekali stalaktit or stalakmit yg jika dipukul akan memperdengarkan bunyi Gong.

Biaya retribusi ke gua gong hanya Rp 2500 utk dewasa. Murah dan gak perlu antri. Dari mulut goa ke bawah kira-kira 300 meter. Gua gong adalah gua yg sdh bisa dimasukin siapa saja karena ada tangga dan penerangan yg cukup walau di mulut goa kita bakalan ditawarin sewa senter Rp 2000.

Ada 7 ruangan di dalam gua gong. Ruangan pertama adalah ruangan bidadari, didalamnya ada ruangan seperti kamar mandi alam. Saya males liat Karena gelap trus males nyelip-nyelip di balik stalaktit atau stalakmit yg runcing-runcing. Dari pintu masuk sudah diberi pemandangan yg menakjubkan. Stalaktit dan stalagmite yg masih tumbuh subur dan akan trus tumbuh. Banyak jg sih stalaktit or stalakmit yg sudah mati sehingga bentuknya tdk bagus lagi.

Guide saya trus menerangkan asal mula stalaktit or stalakmit , tetapi saya kurang konsen karena ruangan yg gelap, sempit dan trus-terang saya merasa tdk nyaman berada di perut bumi dgn macam-macam orang yg juga keluar masuk kedalam goa. Belon lagi efek-efek warna lampu yg membuat bayangan-bayangan mencengkam. Kebanyakan stalakmit or stalaktit itu warnanya mengalami kerusakan akibat dari sinar lampu atau karena dipegang-pegang orang. Namanya jadi batu daki karena warna putihnya berubah menjadi hitam sangking seringnya dipegang orang hehe.

Semakin jauh ke bawah perut bumi kita akan menemukan beberapa sendang, sumber air yg jernih. Dulunya sih dipake penemu gua utk minum atau mandi ketika dia bersemedi di gua tetapi skr tdk dipergunakan lagi hanya dibiarkan begitu saja. Biasanya pengunjung sering mempergunakannya utk cuci tangan, kaki or muka. Saya sih gak rekomendasiin karena airnya walo kelihatannya jernih tetapi agak-agak hitam.

Didalam gua ada juga batu Kristal. Mirip batu marmer tetapi jika diperhatikan or disorot dgn senter maka warnanya seperti dipenuhi biji-biji permata. Bersinar-sinar cantik. Lalu ada batu otak-otak karena bentuknya seperti otak manusia, agak menjijikkan kalau mereka bergerombol banyak, berwarna sedikit kuning otak dan licin. Lalu ada juga batu onyx yg jika disenterin maka cahaya akan tembus ke sisi sebaliknya.


Sumber http://nyonyasepatu.multiply.com/journal/item/256

Pantai Klayar Pacitan

Kota Pacitan, siapa seh yang tidak kenal dengan kota Pacitan? Walaupun kota ini kecil tapi nama kota ini pasti sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia, tahu kenapa? Yupz karena kota ini merupakan kota kelahiran orang no.1 di Indonesia. Siapa lagi kalau bukan beliau bapak Susilo Bambang Yudhoyono, presiden RI saat ini.





Kota Pacitan, yang terletak di Jawa Timur dekat Laut Selatan merupakan sebuah daerah dengan keindahan alam yang tiada tara, tidak aneh jika kota ini mendapat julukan KOTA 1001 GOA, karena banyak sekali goa-goa di kota ini. Tidak hanya itu saja, Pacitan juga memiliki pemandangan indah yang disuguhkan melalui keindahan pantainya. Ada banyak pantai di kota ini, mau cari pantai yang seperti apa, Pasirnya putih? Ada, ombaknya besar? Ada, yang menjual ikan? Ada, yang batu kerangnya besar dan unik? Ada. Anda mau mencari yang seperti apa itu semua sudah ada di kota ini. Salah satu pantai yang ingin saya tunjukkan adalah pantai Klayar.

Pantai Klayar merupakan salah satu pantai yang ada di kota pacitan yang menyuguhkan pemandangan tidak kalah menarik dengan pantai-pantai lain di kota pacitan. Di pantai Klayar ini anda bisa menemukan pasir yang putih, ombak yang besar, batu karang yang unik, dan bintang laut (kalau lagi musim, pasti bisa menemukan banyak sekali). Pantai yang indah ini terletak di kecamatan Pringkuku kurang lebih 30 km dari kota Pacitan. Bagi para pengunjung bisa menjangkau tempat ini dengan motor dan mobil pribadi, karena sampai sekarang ini saya masih belum mengetahui apakah sudah ada kendaraan umum untuk menuju ke area pantai. Jalan yang dilalui pun sekarang sudah terbilang mudah, walaupun untuk sebagian orang yang belum pernah melakukan perjalanan ke daerah pegunungan akan merasa ketakutan dengan jalan yang naik-turun, bergelombang, berbelok-belok dan jalan yang tidak terlalu lebar. Akan tetapi perjalanan itu akan terbayar dengan pemandangan indah pantai Klayar, dimana setelah anda menguras konsentrasi anda dengan memperhatikan jalan menjadi hilang ketika anda melihat keindahan pantai ini. Dan tarif yang dikenakan pun terbilang murah cukup RP. 5.000 (itu waktu lebaran 2011, mungkin sekarang masih segitu).
   
Udara yang sejuk, pemandangan yang memukau akan membuat anda terkagum-kagum melihatnya. Subhanallah inilah salah satu ciptaanNya. Itulah ucapan yang keluar dari bibir saya pertama kali saya melihatnya .
   
Saya saat itu datang sekitar pukul 10.00 tempat itu sangat ramai,ya karena pada saat itu adalah lebaran hari ketiga, pantaskan rame? Hhe hhe hhe. Pengunjung yang dtang saat itu banyak sekali, tidak hanya dari kota Pacitan tetapi ada banyak yang dari luar kota Pacitan yang mereka mempunyai keluarga di kota Pacitan.
Pantai ini masih terlihat banget keasriaannya, karena masih belum banyak orang yang tahu, jadi belum begitu banyak campur tangan manusia di dalamnya. Air yang biru, jernih ombak yang berdebur, udara yang sejuk melengkapi pemandangan indah siang itu dari atas bukit dekat pantai, dengan segelas es kelapa muda,. Ehm sungguh nikmat sekali.
   
Ada satu pemandangan menarik dari pantai ini adalah, lubang dari batu karang dimana jika ada ombak dibawahnya maka ombak itu akan masuk lubang dan akan menyembur ke atas, seperti gambar dibawah ini. Pemandangan seperti ini tidak disia-siakan oleh para pengunjung, mereka selalu ingin berfoto ketika ada ombak yang datang, akan tetapi terkadang ketika ombak itu datang jepretan kamera tidak pas dan akhirnya hanya jadi bahan tertawaan.
   
Ombak yang besar membuat pengunjung dilarang untuk bermain air dipantai ini, jadi pantai ini lebih cocok jika untuk foto dan melihat pemandangan saja. Dibawah ini merupakan salah satu bentuk batu karang yang unik yang ada dipantai ini.

Pantai yang indah, sejuk, asri, ombak yang keren, pasir yang putih merupakan salah satu pemandangan alam yang bisa kita nikmati di kota Pacitan. Tidak afdhol rasanya jika saya tidak berfoto dipantai ini sebelum saya meninggalkan pantai ini,. Hhe hhe hhe

Edited from http://www.travel.diengplateau.com/2012/03/panorama-pantai-klayar.html

Curug Cikaso

Curug unik nan indah dan tiada duanya ini memang menjadi daya tarik sendiri ketika nge-trip ke Ujung Genteng, Sukabumi, Jawa Barat. Curug anggun ini mempunyai air terjun yang menyebar dan memiliki tiga air terjun dalam satu tempat. Rupanya keunikan curug ini juga memiliki cerita (semacam mitos) dari masing-masing air terjun itu.

Masih terlalu pagi saat kami tiba di Curug Cikaso. Kami berhenti di area parkir kendaraan yang dekat dengan ‘dermaga’ perahu dan sawah yang hanya beberapa petak, dengan loket tiket yang masih sepi. Tengok kanan-kiri kami tak menemukan orang yang menjaga loket atau orang yang bisa kami minta keterangan dimana lokasi Curug Cikaso berada. Barangkali kami pengunjung pertama. Kami* berkeliling sebentar. Ketepian ‘dermaga’ tempat perahu sungai tertambat. Sungai yang cukup besar, dengan berwarna cokelat lumpur, dan ada jejak air agak meluap kepinggiran, bekas hujan tadi malam. Tak berapa lama seorang berperawakan kecil datang, menawarkan jasa perahu yang siap mengantarkan kami ke curug. Kemudian tak berapa lama berikutnya, bapak-bapak dengan perawakan besar muncul, sang penjaga loket tiket.



Setelah Lazuardi ‘Rantip’ bernegosiasi perihal tiket dan biaya perahu, akhirnya kami naik perahu. Kami berlima duduk diatur. Tiap satu bangku satu penumpang supaya perahu tetap seimbang. Seorang mengatur mesin kemudi dibelakang, dan seorang didepan (entah apa perannya sebenarnya). Kami kira perjalanan ke Curug Cikaso menempuh jarak yang jauh dan akan memakan waktu yang cukup lama sehingga kami memutuskan naik perahu, rupanya hanya beberapa langkah saja bisa dijangkau. Aduh…!! Bang penjaga loket kenapa nggak bilang-bilang kalau jaraknya cuma selangkahan kaki doang?

Hanya beberapa menit perahu berjalan, masuk ke sungai kecil, dan mendekati air terjun. Perahu menepi. Tak jauh suara riak air jatuh menghujam ke sungai terdengar.  Terus mendekati, semakin terasa titik-titik air, efek dari air terjun yang tertiup angin terasa di wajah. Udara pagi dan embun terasa basah. Tiga air terjun berjejer ‘menumpahkan’ airnya begitu saja. Itulah keunikan Curug Cikaso, yang memiliki tiga air terjun.

Dibalik keindahan dan keunikannya, Curug Cikaso memiliki cerita tersendiri. Menurut apa yang aku dengar dari sang local guideguide) konon ketiga air terjun itu pernah disinggahi “seseorang”, yakni Pante Butah, Nyi Roro Kidul (tengah), dan Ulung Sakti (agak terpisah sendiri). (akhirnya kami tahu bahwa orang yang tadi didepan perahu itu adalah seorang
Curug ini digunakan oleh Ulung Sakti untuk  menikahkan anaknya, oleh karena itulah dulunya masyarakat setempat menyebutnya Curug Pengantin. Kemudian sejak tahun 2000, pemuda dan tokoh masyarakat setempat merubah nama curug tersebut menjadi Curug Cikaso, dan mulai dipromosikan sebagai destinasi wisata.

Karena perubahan nama itu dikhawatirkan akan membawa sesuatu yang tak diinginkan, maka masyarakat “meminta izin” sebelum perubahan nama curug itu. Mereka mengadakan potong kambing hitam, dengan “mempersembahkan” kepalanya ke curug. Dan sejak perubahan nama itu, konon tidak ada masalah dengan tempat itu.

Agak menggelitik juga bisa mengetahui sedikit cerita dibalik Curug Cikaso. Aku selesai memotret panorama air terjun itu. Elin sibuk bernarsis ria, Erik seperti anak kecil yang baru nemu air, langsung nyebur ke sungai dibawah curug dengan pakaian renangnya, dan tanpa menghiraukan air sungai pagi itu yang super-duper dingin. Di atas bangku coran, Lazuardi memasak mie instan di atas  tungku gas kecil yang biasa digunakan saat camping, ditemani Yeni yang asyik ngemil snack Lays.

Kami semua menghampiri Lazuardi. Elin langsung menyambar Pop Mie yang baru dimasak Lazurdi. Disusul Yeni. Erik dan aku asyik menikmati Sari Roti rasa cokelat. Inilah sarapan ala anak camping. Sambil disisipi obrolan seru, apalagi Elin dan Erik suka ngebanyol, tambah ngakak deh. Sarapan ceria!

Rasanya ada yang kurang? Oh ya..! kita belum foto bareng. Akhirnya kami menuju ke lokasi didepan persis tiga air terjun itu. Kami sambil minta tolong difotoin sama guide-nya, kami bergaya dikit. Kemudian Lazuardi minta difoto sendiri, dan juga ada foto berdua dengan Erik. Dan hasilnya? Zya ampuuunn… Lazuardi berpose dengan gaya ‘orang sakit pinggang alias encok’. Mungkin efek nge-drive dari Jakarta hingga Ujung Genteng, selama kurang lebih tujuh jam.

Ciwidey (Kawah Putih)

Membutuhkan sekitar 4-5 jam waktu perjalanan dari Jakarta menuju Ciwidey yang terdapat wisata Kawah Putih. Sebelum sampai ke tempat wisata Kawah Putih itu, kita akan disuguhkan pemandangan menarik di samping pemandangan yang membosankan ketika berada di jalan tol, yang menjadi jalan cepat menuju ke sana, yaitu kebun buah stroberi yang terdapat di rumah-rumah warga di sepanjang jalan Ciwidey, maupun kebun milik orang yang memang pengusaha atau pernghasil buah stroberi. Semua bisa kita temukan setelah melewati jalan tol yang panjang dan setelah melalui jalan raya Kopo, Bandung yang kita capai setelah keluar dari gerbang tol Kopo, Bandung.

Merah merekah dan menggoda lidah siapapun yang melihat buah stroberi yang masih bergantung di pohonnya, berjejer di perkebunan yang letaknya di pinggir jalan raya. Perkebunan stroberi yang berada di pinggir jalan sepanjang jalan Ciwidey itu rupanya menawarkan hal menarik, yaitu memetik stroberi sendiri dari pohonnya. kesempatan seperti ini jarang bagi kita terutama orang Jakarta dan daerah lainnya yang jauh dari perkebunan stroberi berkesempatan memetik sendiri dan memilah stroberi yang bagus. Tentunya ini tidak gratis, jika kita tertarik dan berkeinginan memetik stroberi itu, diwajibkan untuk membayar. Menurut pemilik perkebunan itu, mereka mematok tarif memetik buah stroberi itu Rp.35.000- Rp. 40.000 per-kilogram stroberi yang telah dipetik. Mereka juga menyediakan stroberi yang sudah dalam kemasan dan siap dikonsumsi, dan harganya pun lebih murah karena terima jadi, tidak bisa memilah.

Setelah sekitar satu jam melewati perkebunan stroberi itu, sampailah kita pada pintu masuk tempat wisata yang dituju itu, yaitu wisata alam Kawah Putih yang katanya sangat populer keindahannya itu, sebab banyak orang-orang yang menjadikan kawasan wisata ini untuk objek foto mereka terutama bagi sepasang kekasih yang hendak menikah, seperti foto pre-wedding.

Lahan parkir yang luas dan bersih serta penataan pedagang yang menjajakan oleh-oleh khas daerah itu tertata rapi walapun belum maksimal karena sebagian masih dalam tahap pembangunan. Adapun harga tiket masuk per-orang sekitar Rp. 12.000. Tapi, jangan salah, kita belum sampai ke Kawah Putihnya, masih membutuhkan waktu sekitar 15 menit lagi untuk mencapai tujuan utama. Pintu masuk pertama itu hanya untuk membeli tiket masuk dan parkir kendaraan-kendaraan besar seperti bus dan semacamnya. Namun, bagi yang membawa kendaraan pribadi-mobil kecil, sedan dsb- dapat langsung masuk ke tempat utama menggunakan kendaraan pribadinya itu. Bagi yang menggunakan bus atau kendaraan lain yang besar, tidak dapat menuju ke tempat tujuan dengan menggunakan bus atau kendaraan besar lainnya karena jalan menuju ke sana hanya muat untuk dua mobil sedan, itupun harus berhati-hati karena sangat mepet. Mereka yang menggunakan kendaraan besar itu dapat menumpang mobil pick up atau angkot khusus yang disediakan pengelola tempat wisata itu untuk mengantar jemput wisatawan dengan membayar sekitar Rp.10.000 per-orang (Antar-jemput).

Di perjalanan masuk itu kita dapat melihat pemandangan yang sangat asri dan sejuk dengan pohon kayu putih yang menjulang tinggi dan rimbun. Medan jalan memang agak terjal, baik itu menanjak maupun menurun, sehingga diperlukan kehati-hatian bagi pada pengemudi. Selain itu juga banyak wisatawan yang menggunakan sepeda motor, terutama anak-anak muda dengan kekasihnya maupun klub motor dari berbagai daerah.

Perjalanan itu terasa singkat karena selama perjalanan masuk, kita juga disuguhkan pemandangan indah dan sejuk -dengan pepohonan kayu putih yang menjulang tinggi dan rimbun-, seakan kita lupa akan lamanya perjalanan. Ketika sampai di tempat utama yaitu Kawah Putih, kita terlebih dahulu disambut pedagang-pedagang yang menawarkan jajanan khas kota Ciwidey, Bandung dan beberapa macam pernak-pernik.

Sudah tak sabar tentunya untuk melihat seperti apa tetesan surga itu. Saat kita turun dari kendaraan yang di parkir memang belum terlihat Kawah Putih yang dimaksud. Kita harus menempuh jarak 200-250 meter dengan berjalan kaki untuk dapat melihatnya dengan jelas dan merasakan bau belerang yang terasa pekat dihidung.
Di perjalanan masuk, kita dapat melihat beberapa papan-papan yang bertuliskan tentang larangan dan informasi ketika nanti sampai di Kawah Putih itu. Ada juga papan yang menuliskan sejarah Kawah Putih itu sendiri.

Akhirnya, saat yang kita tunggu-tunggu setelah menempuh perjalanan dari rumah (asal daerah), melewati tol, kebun stroberi dan melewati hutan kayu putih sampai berjalan kaki tuk mencapai tempat utama yaitu melihat keindahan Kawah Putih dan menghirup aroma belerang yang masih sangat terasa. Di situ kita dapat melihat danau yang berisikan air belerang yang berwarna biru kehijauan, serta bukit-bukit yang konon bekas pertambangan belerang pada zaman kolonial Belanda. Pepohonan yang dalam perjalanan terlihat rimbun dan asri, ternyata tak bisa tumbuh sehat pada daerah sekitar kawah, mungkin karena kandungan belerang atau mungkin juga disebabkan hal lain, sehingga pepohonan terlihat kering kerongtang hanya meninggalkan batang, namun itu menjadi ciri khas tersendiri dari tempat itu sehingga banyak yang menjadikannya background untuk berpose dengan kamera foto.
 

Selain berpose dan menikmati pemandangan yang indah, kita juga mencicipi air belerang yang katanya dapat menyembuhkan penyakit luar, seperti luka-luka, borok dsb, dengan menyiram atau merendam bagian yang terdapat penyakitnya.

Pemandangan dan suasana dingin akan makin nikmat ketika gerimis turun dari langit yang secara otomatis membuat kabut turun menyelimuti permukaan kawah dan sekitarnya. Bagi yang paranoid akan kabut memang hal itu terasa menakutkan, karena cuaca tiba-tiba menjadi gelap ditutupi kabut dan jarak pandang kita pun terbatas. Namun, bagi pekerja fotografi atau orang yang hobi memotret tentunya momen ini akan menjadi objek foto yang bagus dan sangat terasa natural seperti wilayah yang belum terjamah manusia.

Lengkap sudah rasanya, kita menikmati keindahan alam yang sangat eksotis ini, di samping biayanya yang murah, tempat wisata alam Kawah Putih ini juga dapat menyadarkan kita akan pentingnya menjaga lingkungan agar tetap asri dan ramah terhadap manusia di tengah fenomena pemanasan global yang membuat alam ini rusak.


Edited from http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2010/02/02/setetes-keindahan-surga-wisata-kawah-putih/